KedaiPena.Com – Polri lambat melakukan evaluasi terhadap penanganan demostrasi. Di mana represifitas dan kekerasan selalu terjadi saat para demonstran tertangkap.
Demikian disampaikan Presidium Konsolidasi Mahasiswa Nasional Indonesia (Komando) Tangerang Selatan Febriditya Ramdhan Dwi Rahyanto kepada KedaiPena.Com, Rabu (20/11/2019).
“Seperti yang kita ketahui sederetan peristiwa yang terjadi pada momentum September berdarah (Sepember Berdarah) menjadi awal dari bangkitnya gerakan mahasiswa,” kata Adit, sapaannya.
Seluruh mahasiswa di berbagai wilayah, sambungnya, menyatakan menolak segala RUU dan berbagai kebijakan yang dirasa sangat bertentangan dengan Pancasila dan pembukaan UUD 1945.
“Mahasiswa juga serta mengikrarkan untuk menjadi Pancasila sebagai hierarki tertinggi. Namun sayang, hal ini disambut represif oleh negara. Penjara, rumah sakit bahkan hilangnya nyawa kawan kami menjadi catatan buruk dinegara ini,” ucap mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pamulang ini.
Yang terbaru adalah aksi mahasiswa yang mengatasnamakan Front Mahasiswa Makassar Menggugat (FM3). Mereka melakukan aksi terkait isu BPJS di depan kantor BPJS dan Pemprov Sulsel (12/21/2019). Tercatat ada enam orang mahasiswa yang ditahan di Polrestabes Makassar.
Berdasarkan informasi dan kronologis di lapangan, terdapat enam mahasiswa yang ditahan. Selain itu, mereka mendapatkan tindakan represif berupa penyiksaan secara fisik dari oknum anggota kepolisian saat proses penangkapan yang berakhir dengan penahanan.
“Dalam hal ini mahasiswa Makassar bergerak atas dasar kegelisahan lantaran beberapa komponen seperti negara belum mampu mengelola dan memberikan jaminan kesehatan yang baik untuk masyarakat. Hal ini terlihat bahwa kenaikan iuran BPJS menjadi sebuah bukti belum mampu memberikan jaminan kesehatan bagi masyarakat,” beber Adit.
Ia melanjutkan, BPJS yang seharusnya menjadi solusi kesehatan bagi rakyat miskin justru dikomersialisasikan oleh negara.
“Dan rasa-rasanya tuntutan bubarkan BPJS yang digaungkan oleh FM3 adalah solusi agar negara dapat mengevaluasi kembali terkait program tersebut. Karena bagi kita cukup sederhana, ketika memang Pancasika diletakkan sebagai hierarki tertinggi maka tidak boleh ada lagi UU, peraturan serta kebijakan yang akan merugikan masyarakat,” tandas Adit.
Laporan: Muhammad Lutfi