BADUY sejak dahulu kala, secara turun-temurun dan tidak terputus, hidup di atas Tanah Ulayat. Mereka memiliki hubungan secara lahiriah dan batiniah atas lingkungan hidupnya. Melekat bersamaan dengan ini adalah Hak Ulayat, dimana masyarakat Adat Baduy memiliki kewenangan untuk mengambil segala manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut. Tentu hal itu dilakukan bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya.
Segala sesuatu yang telah dilakukan oleh Masyarakat Adat Baduy selalu berpatokan kepada kearifan dan kelestarian terhadap alam lingkungan hidupnya. Hak Ulayat inilah yang wajib untuk diberikan perlindungan dari pemerintah daerah dan masyarakat.
Kehidupan Masyarakat Baduy yang bersahaja, sederhana dan tulus ini rupanya diartikan lain oleh pihak di luar Baduy dan pihak asing. Ironisnya hal ini justru didukung oleh pemerintah daerah, baik Lebak maupun Banten. Ya, hal ini terkait dengan rencana ekploitasi Blok Rangkas oleh setidaknya tiga perusahaan pengeboran minyak, yaitu; Lundin Petroleum (Swedia), Tap Energi (Australia), dan Carnarvon Petroleum (Australia).
Dapat kita lihat keluguan dan ketidakpahaman masyarakat Baduy, ketika melihat upaya-upaya menuju rencana eksplorasi yang terjadi di bumi mereka. Sebagaimana diungkapkan oleh Ayah Mursyid, salah seorang tokoh masyarakat Baduy Dalam.
“Kami warga Baduy kurang paham dengan kedatangan orang-orang dari Kota yang berkeliling Leuwidamar di sekitar lahan Baduy untuk mengambil contoh tanah dan pengambilan data,†ujar Mursid dikutip dari Bantenesia tempo waktu.
Ayah Mursyid, yang memiliki nama asli Alim, merupakan Wakil Jaro Tangtu Cibeo yang kerap menjelaskan segala sesuatu soal Baduy yang ingin diketahui oleh masyarakat luar. Tugasnya seperti ‘Menteri Luar Negeri’.
Dalam suatu kesempatan, Ayah Mursyid menjelaskan karakter masyarakat Baduy yang konsiten memegang teguh hukum adat dan menjaga kelestarian alam.
“Kami tetep teguh patuh ‘keur ngalaksanakeun amanat wiwitan’. Kami tetap yakin Baduy ‘tetep ayeum tentremnu penting ulah ngaganggu atawa diganggu jeung ulah ngarugikeun komo deuidirugikeun’. Kami siap kerjasama ‘jeung sasaha oge tapi anu aya manfaat kanakasalametan hirup balarea, kami mah patuh kana hukum jeung kahayang alam nudiciptakeun kunu maha kawasa’â€.
Demikian dikutip dari halaman 12, buku; “Saatnya Baduy Bicara†karya Asep Kunia,S.Pd dan Dr. Ahmad Sihabudin, M.Si.
Konsistensi dan keteguhan hati masyarakat Baduy ini disertai dengan keyakinan bahwa Baduy akan tetap lestari selama tidak saling mengganggu, tidak merugikan atau dirugikan.
Masyarakat Baduy yang hidup di alam pegunungan bukan berarti tidak terbuka bagi pihak lain, bisa saja bekerjasama akan tetapi dengan syarat hanya bagi yang memberikan manfaat dan keselamatan umat lebih luas lagi. Tentunya, harus berpegang teguh kepada hukum adat dan kehendak alam yang diciptakan oleh Yang Maha Kuasa.
Oleh Aliyth Prakarsa, akademisi Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) Serang