WAKTU Rendra baca puisi di TIM tahun ‘74 dan dilempari bom amoniak oleh orang suruhan intel, Bang Ali yang lagi nonton bersama Pak Hoegeng dan Bung Hatta langsung bereaksi.
Bang Ali berdiri, semua penonton berdiri. Bom jatuh di depan panggung. Dua mahasiswa pingsan, yang lainnya bersama Bang Ali mencoba mengamankan panggung. 
Beruntunglah tidak ada korban jiwa.
Esoknya koran-koran ramai memberitakan kejadian itu, dengan foto-foto besar bergambar Bang Ali dengan raut ekspresi yang sedang marah dan WS Rendra berdiri di sebelahnya.
Di tengah kepanikan akibat lemparan bom yang apes itu Rendra dengan lantang berteriak: 
‘’Saudara-saudara ini adalah wilayah penyair. Kedaulatan saya diganggu!…’’.
Pembacaan puisi akhirnya dilanjutkan dengan sambutan yang riuh dari penonton. 
‘’Rendra dengan gagah menyuarakan suara hati penontonnya,’’ kenang Dibyanto seorang seniman dari Kelompok Ngamen ‘78 yang menjadi saksi peristiwa tersebut seperti dikutip oleh sebuah harian ibukota.
Meski Bang Ali tentara dan pejabat tinggi keberpihakannya pada seniman sangat jelas. Apresiasinya sangat tinggi terhadap berbagai bentuk kesenian.
Bang Ali bikin Pasar Seni di Ancol buat para pelukis yang sebelumnya menggelandang dari sanggar ke sanggar, menerbitkan majalah Budaya Jaya, bikin kawasan industri Pulo Gadung untuk para buruh hingga Kebon Binatang Ragunan buat hewan-hewan.
Singkatnya, Bang Ali meletakkan dasar-dasar ke arah Jakarta masa depan. Jakarta metropolitan yang beradab. Yang menempatkan manusia di atas kepentingan politik.
Mengingatkan kita kepada perkataan Sutan Sjahrir: ‘’Kemanusiaan di hati dan pikiran…’’.
Pembangunan kota yang meletakkan manusia sebagai sentral itulah yang sekarang semakin tergerus.
Tidak ada artinya gedung-gedung megah, jalan-jalan mulus, taman-taman indah, kalau manusianya terpinggirkan.

 Atas jasa-jasa Bang Ali yang telah meletakkan dasar-dasar ke arah Jakarta yang berperadaban Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada Januari 2006 memberikan gelar kepada Bang Ali sebagai Empu Peradaban Kota.
Sardono W Kusumo yang berpidato di acara itu mengatakan: dalam sejarah kebudayaan klasik Indonesia ‘’empu’’ adalah gelar kehormatan yang diberikan kepada para intelektual dalam bermacam-macam bidang, seperti sastra, tari, teater, musik, arsitektur, pendidikan, pemerintahan, dan sebagainya.
Di samping menguasai ilmu, kata Sardono, para empu juga punya kemampuan profesional karya cipta sakral yang membawa berkah dan barokah bagi umat manusia. 
Maka seorang empu adalah sosok pribadi yang menguasai ilmu dan laku daya cipta, seorang medium dunia imanen dan transenden.
Rizal Ramli, yang waktu itu tokoh terkemuka gerakan mahasiswa ITB mengundang WS Rendra ke Bandung. 
Di ITB si Burung Merak yang flamboyan baca sajak Sebatang Lisong. 
Rizal adalah pimpinan Dewan Mahasiswa ITB yang menggugat Soeharto atas nasib sekitar delapan juta kanan-kanak Indonesia yang tanpa pendidikan.
Kondisi inilah yang menginspirasi Rendra untuk menuliskan sajaknya itu. 
Soeharto seperti kena tampar, apalagi Rizal dan teman-teman mengkritik keras berbagai bentuk perilaku kekuasaan Soeharto yang melenceng dari cita-cita konstitusi dan harapan rakyat.
Buku putih yang intinya memuat kritik terhadap Soeharto itu beredar luas, yang semakin membuat Soeharto ngamuk. 

Aksi demo mahasiswa di kampus ITB memuncak, penguasa militer asuhan Soeharto makin kalap, sehingga mengirimkan tentara untuk menduduki kampus selama berbulan-bulan.
Rizal dan teman-teman terus melawan dan melancarkan kritik yang semakin keras. Puncaknya, Soeharto benar-benar jengkel, sehingga Rizal dikejar-kejar untuk dijebloskan ke dalam penjara Sukamiskin, Bandung. Tempat dimana Sang Proklamator Sukarno dulu juga pernah dibui di situ.
Rizal terus melawan, konspirasi hatinya dengan WS Rendra telah melahirkan banyak inspirasi bagi kelompok-kelompok anti tirani dan anti otoritarianisme rezim Soeharto yang korup.
Konspirasi hati Rizal Ramli dengan WS Rendra hari Jumat 17 Agustus 2018 kemarin kembali terbukti dan diperlihatkannya. Di tengah keriuhan upacara kemerdekaan para elit kekuasaan Rizal Ramli lebih memilih datang untuk berkumpul dengan rakyat biasa dalam acara sederhana mengenang WS Rendra bertema Rindu Rendra, Rakyat Belum Merdeka, di TIM, Cikini.
Di situ Rizal Ramli mengenangkan kembali pertemuannya dengan Rendra puluhan tahun yang lalu. Malam harinya Rizal Ramli yang didaulat oleh Clara Shinta salah seorang putri Rendra untuk membaca puisi memenuhi permintaan itu.
Bahkan Rizal meluangkan waktunya hampir tiga jam untuk naik ke atas pentas setelah sebelumnya memberikan pencerahan kepada masyarakat yang hadir dalam diskusi mengenang Rendra.
Dengan energik Rizal membacakan sajak Burung-Burung Kondor, karya WS Rendra, yang berkisah tentang rakyat yang menjadi korban ketidakadilan ekonomi dan politik.

Konspirasi hati Rizal Ramli dengan WS Rendra juga menginspirasi sutradara Syumanjaya yang baru pulang dari sekolah film di Moskow.
Syuman bikin film Yang Muda Yang Bercinta, yang contentnya juga bermuatan kritik sosial. 
Rendra menjadi bintang utamanya. Di film yang cuplikannya saat ini masih bisa kita tonton di yuotube itu banyak terdapat adegan Rendra baca puisi, termasuk sajak Sebatang Lisong.
Sekelumit kisah ini juga kembali membayang di layar ingatan sewaktu Rizal Ramli berkunjung ke Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin di TIM, beberapa waktu yang lalu.
PDS HB Jassin didirikan atas dukungan penuh Bang Ali, pada 1970-an.
Di situ tersimpan lebih dari 300 ribu berbagai 
jenis karya sastra para seniman, pujangga/penyair/novelis Indonesia sejak kurun waktu abad ke 19. 

Waktu tiba di PDS HB Jassin jarum jam seakan berbalik arah.
Selain membaca manuskrip berupa tulisan asli pujangga terkemuka Indonesia, Chairil Anwar, Rizal langsung teringat pada Rendra. Seolah teringat kembali kepada konspirasi hatinya dengan penyair Burung Merak itu di tahun ’78.
Rizal bertanya kepada seorang staf PDS dimana karya-karya Rendra. Setelah memeriksa beberapa rak dokumentasi sebuah tulisan asli Rendra berisi sajak Sebatang Lisong ditemukan.
Dengan takzim dan khidmat tiba-tiba Rizal membacakan sajak monumental yang punya makna besar bagi perjalanan hidupnya itu.

Puluhan orang di ruangan itu tidak menyangka akan menyaksikan spontanitas seperti itu.
Spontanitas yang lahir karena penghargaan kepada seorang sahabat, kepada seorang penyair besar Indonesia, yang pemberani seperti halnya pula Rizal Ramli.
Spontanitas yang muncul dari penghayatannya terhadap seni dan peradaban, seperti halnya pula Bang Ali menaruh hormat kepada seni dan peradaban.
Oleh Arief Gunawan, Wartawan Senior