KedaiPena.com – Bacapres Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP), Anies Baswedan menyatakan kritik bukan lah tindakan kriminal tapi merupakan suatu proses pembelajaran.
“Kritik itu tidak perlu dipandang sebagai kegiatan kriminal, kritik itu dipandang sebagai kegiatan pembelajaran. Pembelajaran bagi saya kalau dikritik supaya apa? Supaya dia berikan argumen balik dan argumen itu supaya mencerdaskan yang menonton,” kata Anies dalam acara Anies Baswedan Bicara Kebudayaan: Kini dan Nanti di Taman Ismail Marzuki Jakarta, Kamis (24/8/2023).
Ia menyatakan suatu kritik tak perlu ditanggapi dengan rasa marah. Hanya perlu diberikan jawaban sesuai data yang berbasis akal sehat.
“Bagi saya dikritik jangan marah, tinggal jawab aja kritiknya. Dan pada saat saya menjawab kritik biarkan publik yang menilai, lebih masuk akal mana? Yang pengkritik atau yang memberi jawaban. Syaratnya, ketika mengusung kebijakan harus pakai akal sehat, syaratnya harus menggunakan data, syaratnya harus punya penelitian science-nya, kan sudah saya jelaskan kalau ini tidak ada dikritik maka menjadi terganggu,” tuturnya.
Anies mengaitkan masalah kritik ini dengan UU ITE, yang dinilai memiliki pasal-pasal karet.
“Menurut saya pasal-pasal karet ini harus direvisi karena itu akan membungkam kebebasan berekspresi. Kita membutuhkan UU ITE untuk melindungi seperti kerahasiaan data, privacy orang, proteksi atas informasi itu yang kita butuhkan. Tapi bukan untuk kebebasan berekspresi, masa kita melaporkan bengkel disebutkan sebagai pencemaran nama baik. Kan susah, kita melaporkan rumah sakit disebutkan pencemaran nama baik, dan itu terjadi. Jadi bukan hanya antar rakyat dan negara , bahkan antara rakyat dan institusi privat pun itu terjadi. Nah itu yang harus dikoreksi sehingga kita punya ruang kebebasan,” tuturnya lagi.
Menanggapi isu kriminalisasi karya mural yang sempat terjadi beberapa waktu lalu, ia menyampaikan bahwa karya seni mural merupakan bagian dari sejarah.
“Mural itu bagian dari mengekspresikan perjuangan. Di mana-mana konten-konten dan bahasa Indonesia itu menemukan ototnya di era kemerdekaan. Ungkapan yang dulunya gemulai dalam bahasa Indonesia berubah menjadi ungkapan berotot dan ungkapan berotot itu dituliskan di tembok-tembok mural di masa itu. Jadi jangan lah mural itu dimusuhi, itu menjadi salah satu alat di masa perjuangan masa itu,” kata Anies lebih lanjut.
Bahkan ia mengingatkan bahwa Pemprov DKI pun pernah berkolaborasi dengan seniman mural, untuk membantu memberi warna pada Kota Jakarta.
“Kita kasih tempat-tempatnya untuk membuat mural. Silahkan bikin mural apa saja, termasuk mural untuk menertawakan gubernurnya, go ahead gitu. Gak masalah itu lah kebebasan mereka untuk berekspresi,” pungkasnya.
Laporan: Ranny Supusepa