KedaiPena.Com – Permintaan fasilitas ajudan pribadi anggota DPR menampilkan wajah parlemen yang selalu ingin diperlakukan secara istimewa. Hal ini, juga menunjukan jika cukup banyak permintaan fasilitas DPR yang sekedar ingin tampil beda dan eksklusif.
Demikian disampaikan Peneliti Formappi Lucius Karus mengomentari permintaan Anggota DPR RI termuda Hillary Brigitta Lasut terkait ajudan pribadi dari personel TNI kepada KSAD Jenderal Dudung Abdurachman.
“Dalam kasus fasilitas ajudan ini, permintaan memang tidak mewakili lembaga, tetapi individu. Walau bersifat pribadi, permintaan itu tetap saja memanfaatkan posisinya sebagai anggota DPR. Kalau rakyat biasa, mana mungkin sih jalur ke elit TNI bisa dengan mudah tersambung?,” geram Lucius, Jumat, (3/12/2021).
Lucius juga memandang, permintaan Hillary patut diduga sebagai bentuk pemanfaatan jabatan untuk kepentingan pribadi.
“Sebagai anggota DPR yang bertugas di Komisi I yang salah satu mitra kerjanya adalah TNI, anggota DPR itu nampak memanfaatkan relasi kerja itu untuk keuntungan pribadi,” kata Lucius.
Secara etis, kata Lucius, kemitraan dengan TNI maupun dengan lembaga lain tidak dalam rangka mencari keuntungan pribadi itu.
Pasalnya, tegas dia, kemitraan DPR dengan lembaga negara dan pemerintahan selalu dalam konteks pelaksanaan fungsi DPR sebagai representasi rakyat.
“Fasilitas untuk rakyat yang mestinya diperjuangkan bukan untuk pribadi anggota DPR,” papar Lucius.
Dengan demikian, lanjut Lucius, permintaan fasilitas itu bagian dari konflik kepentingan, penyalahgunaan kekuasaan. Hal-hal ini sudah diatur melalui kode etik DPR.
“Anggota DPR harus menjaga martabat lembaga melalui tindakan mereka dengan bersikap profesional terhadap mitra kerja. Jangan memanfaatkan peran sebagai anggota DPR untuk mengambil keuntungan bagi diri sendiri,” tegas Lucius.
Lucius menambahkan, permintaan fasilitas ajudan pribadi juga adalah ekspresi sikap arogan. Anggota DPR mau memanfaatkan kekuatan fisik untuk mengintimidasi rakyat.
“Tentu saja ini mengangkangi sikap wakil rakyat yang seharusnya. Wakil rakyat harusnya merasa nyaman berada di tengah rakyat. Ia mesti berbaur dengan rakyat, merasakan apa yang dialami rakyat. Dengan fasilitas ajudan, anggota DPR mau menciptakan jarak dengan rakyat,” tutur Lucius.
Lucius juga menilai, alasan karena khawatir dengan ancaman yang muncul terkait perannya mengawal kasus sulit diterima.
“Masa rakyat mengancam orang yang mereka pilih sebagai Wakil mereka? Masa wakil rakyat diancam oleh orang-orang yang telah memberikan kepercayaan kepada anggota DPR sebagai wakil mereka?,” tutur Lucius.
Lucius menduga, ada yang tidak beres dengan pelaksanaan tugas sebagai Wakil ketika seorang anggota merasa terancam.
“Saya kira Mahkamah Kehormatan Dewan perlu berinisiatif memanggil serta menjelaskan kepada anggota DPR yang meminta fasilitas ajudan ini soal potensi pelanggaran kode etik dari sikapnya. Inisiatif MKD ini penting agar juga menjadi pengetahuan bagi anggota DPR lain agar tak main sendiri-sendiri meminta fasilitas pada mitra kerja mereka,” beber Lucius.
Lucius menegaskan, hal ini sangat penting karena MKD yang bertugas menjaga maruah DPR dan perilaku anggota seperti yang meminta fasilitas ini berpotensi merusak maruah itu.
“MKD punya tanggungjawab untuk memastikan jabatan sebagai anggota DPR dijalankan secara profesional sehingga tak memanfaatkan relasi dengan mitra kerja untjk kepentingan pribadi,” tegas Lucius.
Lucius menjabarkan, sikap Fraksi NasDem sudah baik berinisiatif menegur anggota atau kadernya yang meminta fasilitas ini.
“Ini perlu dilakukan oleh fraksi karena menjadi tanggungjawab Fraksi untuk juga memastikan anggotanya melaksanakan tugas secara profesional, menjadi dorong partai dalam memperjuangkan kepentingan rakyat,” tandas Lucius.
Laporan: Muhammad Hafidh