KedaiPena.Com – Anggota Komisi VII DPR RI, Mukhtarudin menilai, ancaman atau potensi kebangkrutan yang tengah membayangi PT Krakatau Steel (Persero) TBK (KRAS) saat ini bisa dilepaskan dari tidak fokusnya manajemen dalam mengembangkan sektor hulu sebagai bisnis inti (core bisnis).
Padahal, kata Mukhtarudin, pangsa pasar di sektor hulu ini berdasarkan data yang ada cukup strategis dan prospektif. Disamping itu, jika dilihat portofolionya, KRAS satu-satunya perusahaan BUMN yang bergerak di bidang industri baja.
“Dengan puluhan perusahaan Entitas Anak, Entitas Asosiasi dan Ventura Bersama yang bergerak di berbagai bidang, PT KS dipandang belum fokus dalam mengembangkan bisnis inti,” ungkap eks Anggota Komisi VI DPR RI itu kepada wartawan, Rabu (8/12/2021).
Untuk diketahui, jelas Mukhtarudin, tujuan awal Pemerintah mendirikan PT KRAS adalah untuk mendukung kemandirian baja di dalam negeri dengan menyediakan baja yang akan digunakan sebagai bahan baku oleh sektor hilirnya.
“Sementara pada kondisi saat ini PT KS cenderung berkeinginan menguasai pasar dalam negeri dengan mengekspansi bisnisnya industri-industri hilir dan sektor perdagangan, sehingga tidak terfokus pada pengembangan sektor hulu baja,” tandas Politikus Golkar itu.
Menurutnya juga, dalam menciptakan kemandirian baja nasional untuk mendukung pengembangan industri besi dan baja, KRAS dipandang gagal dalam menjaga amanat yang dititipkan Pemerintah pada saat pendiriannya.
“PT KS hanya berfokus pada pengembangan industri besi dan baja untuk keperluan infrastruktur yang secara nilai tambahnya sangat kecil. Sementara pasar dalam negeri untuk produk baja yang lebih advance seperti otomotif, perkapalan, alat berat, permesinan, elektronika dan industri sejenisnya yang memiliki nilai tambah tinggi tidak dikembangkan,” sesalnya.
Tak hanya itu, Mukhtarudin menambahkan, kegagalan lain yang dilakukan KRAS adalah dalam melakukan investasi.
“Misalnya, pengembangan Blast furnace yang telah menelan investasi sebesar Rp. 8,5 triliun pada tahun 2009. First Blow In (produksi pertama) dilakukan pada pada 11 Juli 2019, namun 6 bulan kemudian tepatnya pada tanggal 14 Desember 2019 dilakukan shutdown (penghentian proses produksi)” beber Mukhtarudin.
Selanjutnya, kata dia lagi, PT Meratus Jaya Iron & Steel (MJIS) berdiri pada tanggal 9 Juni 2008 yang merupakan perusahaan joint venture antara PT. KS dan PT ANTAM (Persero), Tbk dengan investasi sekitar Rp 2 triliun yang sejak tahun 2015 berhenti beroperasi.
Dengan demikian, kata dia, rentetan kegagalan investasi tersebut menjadi beban keuangan bagi PT. KS
Tak hanya soal kemandirian dan investasi, menurut Mukhtarudin, kegagalan KS juga yakni soal perkembangan industri baja dalam negeri yang tak mampu diimbanginya melalui strategi bisnis yang kurang memadai.
Padahal, jelas dia, jika melihat pertumbuhan industri baja dasar dalam negeri berdasarkan berita BPS tanggal 5 agustus 2021 tumbuh sebesar 18,03% dan industri barang dari logam, computer, barang elektronika, optic, dan peralatan listrik naik sebesar 6,73%
“Dimana rata-rata pertumbuhan industri pengolahan hanya sebesar 6,58% artinya bahwa perkembangan industri besi dan baja nasional disaat terpaan pandemic Covid-19 terus tumbuh dan berkembang,” ungkapnya.
Dengan demikian, tegas dia, tentang banjirnya impor baja, perlu disikapi dengan melihat bahwa besi dan baja yang diimpor tersebut digunakan untuk menopang pertumbuhan sektor penggunanya.
“Hal ini diindikasikan dengan meningkatnya Purchasing Managers Index (PMI) Manufaktur, yang pada bulan Oktober 2021 mencapai 57,20. Artinya besi dan baja yang diimpor tersebut dipergunakan untuk kebutuhan produksi lanjutan dari besi dan baja pada sektor hilirnya (ekspansi manufaktur)” tandasnya.
Adapun soal adanya kekurangan kapasitas dalam rantai pasok (supply chain) besi dan baja nasional, Mukhtarudin menegaskan, hal tersebut mestinya dilihat secara komprehensif gambarannya.
“Pertama, pasokan billet dalam negeri masih kurang 3,21 juta ton. Kedua, pasokan slab dalam negeri masih kurang 2,49 juta ton. Ketiga, pasokan Hot Rolled Coil (HRC) dalam negeri masih kurang 1,92 juta ton. Keempat, pasokan Cold Rolled Coil (CRC) dalam negeri masih kurang 2,66 juta ton. Kelima, pasokan baja lapis (coated steel) dalam negeri masih kurang 1,27 juta ton,” paparnya.
Ia pun menegaskan, kekurangan tersebut hanya dihitung dari kebutuhan baja karbon yang utamanya digunakan untuk sektor infrastruktur dan konstruksi.
Selain itu, jelas dia, kebutuhan baja paduan (alloy) yang digunakan untuk industri lanjutan bernilai tambah tinggi seperti otomotif, perkapalan, alat berat, permesinan, elektronika dan industri sejenisnya tidak diproduksi dalam negeri.
“Hal-hal tersebut menunjukkan bahwa PT. KS sebagai BUMN yang seharusnya memiki tanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan bahan baku besi baja dalam negeri, saat ini belum mampu memasok seluruh kebutuhan tersebut. Seharusnya PT. KS dapat lebih fokus dalam mengembangkan sektor hulu baja dan tidak melakukan ekspansi ke hilir karena seharusnya industri hilir tersebut bukan merupakan pasar bagi PT. KS,” tegasnya.
Tak hanya itu, Mukhtarudin juga menyoroti laporan keuangan KS dimana berdasarkan laporan keuangan PT KS dibukukan laba bersih senilai US$ 59,72 juta atau setara Rp 853 miliar per akhir kuartal III 2021.
“Namun laporan tersebut perlu dievaluasi lebih lanjut karena Debt to Equity Ratio (rasio utang terhadap modal) PT KS tercatat sebesar 789,21%, sementara perusahaan yang sehat harus memiliki DER kurang dari 100%. Dengan DER sebesar 789,21% tersebut, saat ini PT. KS terancam mengalami kebangkrutan,” tandasnya.
Laporan: Sulistyawan