Artikel ini ditulis oleh Gede Sandra, Pemerhati Ekonomi Universitas Bung Karno (UBK).
Berdasarkan Laporan Laba Rugi PT Pertamina tahun 2020, “Laba Bruto” turun dari US$ 8,16 miliar di tahun 2019 ke US$ 6,9 miliar di tahun 2020. Atau turun sekitar US$ 1,2 miliar (14,7%).
Apakah yang membuat laba di tahun 2020 turun? Berikut ini adalah analisanya.
Dapat dilihat pada grafik di bawah, seiring dengan dimulainya pandemi Covid-19 pada awal tahun 2020, terjadi penurunan harga minyak mentah secara signifikan.
Pada Januari 2020, harga minyak berada pada level US$ 51,5/barrel. Kemudian jatuh, turun terus hingga menyentuh di bawah US$
20/barrel.
Hingga September 2020 harga beranjak naik di level US$ 35/barrel, hingga kembali menyentuh US$ 52,3/barrel pada akhir tahun 2020.
Pertamina sendiri, selama tahun 2020 tidak menurunkan harga jual produk BBM.
Sementara jumlah impor minyak mentah Pertamina sepanjang 2020 adalah sebesar 78,7 juta barrel.
Naik dari impor minyak mentah tahun 2019 sebesar 75,3 juta barrel. Artinya tidak ada penurunan dalam konsumsi minyak mentah dalam negeri, malah naik sebesar 3 juta barrel.
Maka, seharusnya dengan jatuhnya harga minyak hingga rata-rata US$ 35/barrel sepanjang tahun 2020, atau turun 30% dari tahun 2019, seharusnya pendapatan usaha juga meningkat 30%. Tapi faktanya ternyata tidak demikian.
Dari Laporan Laba Rugi yang sama, didapatkan Penjualan dan Pendapatan Usaha Pertamina pada tahun 2020 adalah sebesar US$ 54,8 miliar turun dari tahun 2019 yang sebesar US$ 41,5 miliar. Atau turun sebesar US$ 13,3 miliar (24,3%).
Apakah yang membuat komponen “Penjualan dan Pendapatan Usaha” tahun 2019-2020 turun signifikan,sebesar 24,3%?
Ternyata sub-komponen “Penjualan dalam negeri minyak mentah, gas bumi, panas bumi, dan produk minyak” (termasuk penjualan BBM) turun dari US$ 43,8 miliar ke US$ 33 miliar. Turun sebesar US$ 10,8 miliar atau 24,6%.
Padahal berdasarkan data dari BPH Migas, konsumsi BBM pada tahun 2020 (65 juta kL) hanya turun sekitar 7% dari tahun 2019 (70 juta kL).
Sub-komponen lain, “Pendapatan Usaha dari Aktivitas Operasi lainnya” turun secara signifikan dari US$ 2,5 miliar ke US$ 0,9 miliar. Turun sebesar US$ 1,6 miiar, atau turun 64%.
Sub-komponen lain yang juga turun adalah “Penggantian Biaya Subsidi dari Pemerintah”. Yaitu turun dari US$ 4,8
miliar ke US$ 3,4 miliar, atau sebesar US$ 1,4 miliar (29,1%).
Sementara sub-komponen yang lain, “Penjualan ekspor minyak mentah, gas bumi, dan produk minyak lainnya” mengalami peningkatan dari US$ 3,6 miliar ke US$ 3,8 miliar. Naik sedikit,
sebesar US$ 0,2 miliar atau 5% saja.
Untunglah dalam periode 2019-2020, “Beban Pokok Penjualan” juga turun secara signifikan. Dari US$ 46,6 miliar di tahun 2019 turun ke US$ 35,5 miliar di tahun 2020. Turun sebesar US$ 11,1
miliar atau sebesar 23,8%.
Penurunan beban ini banyak disumbang oleh penurunan beban produksi, terutama “bahan baku” yang turun US$ 6,5 miliar (35%) dan penurunan impor produk minyak yang turun US$ 5,3 miliar (30,6%).
Sementara beban “produksi hulu dan lifting” relatif stabil di US$ 4,9
miliar Artinya turunnya beban pokok seiring dengan turunnya harga minyak dunia, yang berada di kisaran 30-an%.
Sekarang kita akan menelisik ke dalam sub-komponen yang terbesar dari Penjualan dan Pendapatan Usaha, yaitu “Penjualan dalam negeri minyak mentah, gas bumi, panas bumi, dan produk minyak”.
Seperti dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Dapat dilihat bahwa memang seluruh penjualan produk minyak mengalami penurunan. Penurunan terbesar adalah pada produk “Minyak Solar” sebesar US$ 2,5 miliar (22%).
Disusul oleh produk “Avtur dan Avigas” yang turun sebesar US$ 1,72 miliar (50,5%). Produk “LPG, petrokimia,
pelumas” turun US$ 1,7 miliar (20,7%). “Bensin Premium” turun US$ 1,7 miliar (34,7%).
Kemudian produk “Pertamax, Pertamax Plus, Pertalite, dan Pertadex” yang turun US$ 1,2 miliar (10,6%). “Gas alam” turun US$ 0,5 miliar (18,5%). “Minyak bumi” turun US$ 0,2 miliar (28,2%).
“BBM industri dan marine” turun US$ 0,2 (42,6%). Sementara “minyak tanah” turun tidak signifikan, US$ 10 juta (8,9%). Dan “minyak diesel industri” turun US$ 3 juta (39,4%).
Hal yang menarik juga adalah di bagian “Pendapatan/(Beban) lain-lain”. Di sini disebutkan nilai aset migas jatuh nilainya hingga menambah beban sebesar US$ 692 juta (dari tahun sebelumnya yang masih merupakan pendapatan sebesar US$ 23 juta).
Juga investasi di blok migas merugi
sehingga menambah beban US$ 200 juta.
Kesimpulannya, turunnya harga minyak dunia sepanjang tahun 2020 sebesar rata-rata 30% tidak serta merta meningkatkan pendapatan Pertamina.
Meskipun harga BBM tidak turun, dan konsumsi BBM hanya turun 7% (volume), tapi nilai penjualan BBM Pertamina secara rata-rata turun 25,4%.
Penurunan dengan prosentase terbesar terjadi pada produk avtur dan avigas (50,5%), sedangkan penurunan dengan nilai terbesar terjadi pada minyak solar (US$ 2,5 miliar).
Ini sesuai dengan koreksi yang sangat dalam yang dialami sektor industri transportasi dan manufaktur selama Pandemi.
Turunnya harga minyak dunia juga telah menyelamatkan Pertamina dari kerugian, karena beban produksi juga menjadi berkurang sebesar 30-an %.
Turunnya harga minyak dunia menyebabkan nilai aset migas dan investasi migas Pertamina mencatatkan tambahan beban US$ 890 juta.
Komisaris Utama Basuki Tjahaja Purnama dan Direktur Utama Nicke Widyawati harus menjawab tantangan agar Pertamina bangkit. Jangan hanya melakukan gebrakan yang manis di permukaan.
[***]