KedaiPena.com – Memastikan anak usia 6-11 tahun untuk siap menerima vaksinasi merupakan hal penting dilakukan sebelum vaksinasi dilakukan. Mengingat perspektif anak berbeda dengan orang dewasa atau anak yang sudah berusia lebih tinggi.
Ketua Ikatan Psikolog Klinis Indonesia Wilayah DKI Jakarta, Anna Surti Ariani, SPsi, MPsi, Psi, menjelaskan reaksi anak yang akan mendapatkan vaksinasi umumnya adalah rasa takut.
“Ketakutan anak akan disuntik itu sangat wajar. 60 persen dari kasus anak disuntik itu merasakan ketakutan. Walaupun memang hanya sedikit sekali yang bergeser menjadi phobia, tetap perlu dilakukan penanganan yang tepat pada anak,” kata Anna dalam acara online kesehatan, Selasa (30/11/2021).
Reaksi anak saat merasa takut, yang umumnya muncul adalah napas yang terengah-engah, detak jantung yang lebih cepat, otot menegang dan pembuluh darah tepi menyempit.
“Proses ini mengakibatkan reaksi yang lebih sakit saat disuntik dibandingkan saat anak tidak dalam konteks takut. Sehingga penting sekali untuk memahami reaksi ini dan lebih dahulu menenangkan anak sebelum menerima suntikan,” ucapnya.
Peran orang tua dan guru menjadi krusial dalam mempersiapkan anak untuk menghadapi vaksinasi ini.
“Orangtua harus bisa menenangkan dan mempersiapkan anak. Sementara guru atau pihak sekolah berperan dalam mengedukasi, menyiapkan lokasi dan membuat nyaman anak. Semua tindakan ini akan membuat anak bisa memahami apa yang akan mereka hadapi dan menurunkan tingkat ketakutan anak,” ucapnya lagi.
Anna menyampaikan orang tua dapat memulai persiapan anak dengan menjelaskan proses vaksinasi kepada anak dengan cara yang mampu diterima anak.
“Penjelasan ini bisa dimulai dari beberapa waktu sebelum hari vaksinasi. Lalu saat hari vaksinasinya, orang tua bisa datang lebih cepat dari waktu yang sudah ditentukan dan menjelaskan proses yang harus dijalani anak,” paparnya.
Ia juga menyampaikan, tak salah jika anak diperbolehkan membawa benda yang membuatnya nyaman atau anak minta ditemani selama proses vaksinasi.
“Tawarkan pada anak, apakah perlu ditemani atau tidak. Biarkan anak yang memilih apakah ingin ditemani atau tidak. Dan lakukan validasi emosi dan berikan apresiasi pada anak,” paparnya lagi.
Sementara peran guru di sekolah adalah memastikan lokasi dan alur ruang vaksin mampu memberikan kenyamanan pada anak.
“Jangan dibikin alurnya itu ribet dan usahakan jangan ada antrian. Hal tersebut mampu memicu stres pada anak. Selain itu, guru perlu juga memberikan penjelasan pada anak mengenai apa itu vaksinasi dan mengapa mereka harus menerima vaksinasi,” ungkapnya.
Anna menegaskan bahwa baik orang tua maupun guru tidak lah boleh melakukan lima hal dalam mempersiapkan anak menghadapi vaksinasi.
“Pertama, jangan berbohong. Akui saja pada anak bahwa disuntik itu sakit. Tapi jelaskan bahwa rasa sakitnya tidak lama dan manfaatnya akan lebih banyak,” katanya.
Orang tua dan guru juga tidak boleh menakuti, mengancam maupun memaksa anak.
“Yang perlu dilakukan adalah yakinkan anak untuk berani, ceritakan apa yang akan terjadi dan hargai pendapat anak jika memang ia belum siap untuk divaksinasi,” tuturnya.
Dan hal terkakhir yang tak boleh dilakukan olrh orang tua dan guru adalah mengabaikan anak.
“Maksudnya, orang tua dan guru harus bisa melihat bahwa proses vaksinasi ini adalah sesuatu hal yang besar buat anak. Sehingga, jika anak ingin membahas prosesnya paska vaksinasi maka orang tua maupun guru jangan mengabaikan. Jangan menganggap bahwa hal itu tidak perlu dibahas. Tapi diskusikanlah pengalaman anak itu,” pungkasnya.
Laporan : Natasha