Sejak adanya UU No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) diharapkan model sistem peradilan pidana yang lebih ramah terhadap anak di Indonesia semakin baik. Tak heran jika banyak pihak memberi harapan besar terhadap lahirnya UU SPPA ini. Namun sudah Empat tahun berlalu sejak disahkan pada 30 Juli 2012, ternyata tantangan implementasi SPPA mulai terbukti.
Regulasi pendukung dari UU SPPAÂ tak kunjung diselesaikan. Berdasarkan UU SPPA, Pemerintah diwajibkan untuk membuat 6 materi dalam bentuk Peraturan Pemerintah dan 2 materi dalam bentuk Peraturan Presiden. Namun sampai saat ini peraturan pendukung malah belum semua tersedia. Pemerintah baru merampungkan dua materi Peraturan Pemerintah (PP tentang Diversi dan Penanganan Anak yang Belum Berumur Dua Belas (12) Tahun) dan Peraturan Presiden tentang Pelatihan Apgakum.
Namun salah satu permasalah yang memprihatinkan adalah soal minimnya jumlah institusi baru pengganti tempat penangkapan, dan penahanan anak.  UU SPPA telah mendorong lahirnya empat lembaga  yakni LPKA, LPKS, RPKA dan LPAS sebagai Pengganti tempat penangkapan, Penahanan dan Lapas Anak.Â
Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) adalah lembaga atau tempat Anak menjalani masa pidananya sedangkan Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS) adalah tempat sementara bagi Anak selama proses peradilan berlangsung. Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial  (LPKS) adalah Tempat penitipan anak yang ditangkap jika belum ada ruang pelayanan khusus anak. & Tempat pembinaan anak (di bawah 12 tahun. Sedangkan Ruang Pelayanan Khusus anak  (RPKA) adalah tempat penitipan anak yang ditangkap selama 1×24 jam.‎
Problem Tempat Penahanan Anak
Jika ada anak yang berumur 14 sampai dengan 18 tahun yang berkonflik dengan hukum maka  UU SPPA memandatkan penitipan anak di LPAS sebagai pengganti Rutan. dan Bila belum ada LPAS di wilayah yang bersangkutan, maka anak dapat dititipkan di LPKS.  jadi untuk melindungi keamanan Anak, maka UU SPPA memerintahkan dapat dilakukan penempatan Anak di LPKS (sementara) sebagai pengganti LPAS.
Masalahnya  adalah, sampai saat ini LPAS dan LPKS belum banyak tersedia di seluruh Indonesia. Hanya beberapa wilayah di tingkat propinsi saja yang mulai memliki LPAS. Namun hampir sama dengan kondisi LPAS maka jumlah LPKS pun tidak ada di setiap kabupaten. Akibatnya aparat penegak hukum seringkali bingung ke mana anak yang bersangkutan akan di tempatkan
Sampai dengan Per 23 Juli 2016, berdasarkan data yang didapat dari situs resmi Ditjen PAS, jumlah tahanan anak yang terdaftar di UPT yang dikelola Ditjen PAS di 33 Wilayah berjumlah 1.002 Tahanan Anak. Jumlah ini lebih banyak di banding tahun 2015 (692 tahanan anak). Angka ini tidak termasuk jumlah tahanan anak yang dikelola oleh Polisi.  Sedangkan untuk jumlah Anak yang menjadi narapidana (warga binaan)berjumlah 2.957 Anak yang tersebar di 33 Wilayah di Indonesia. ICJR sangat prihatin dengan jumlah angka tahanan anak  yang relatif tinggi tersebut. Seharusnya dengan berjalannya UU SPPS jumlah tahanan anak dalam Rutan seharusnya semakin menurun jumlahnya.
Ironisnya, tidak seluruh wilayah memiliki LPAS dan LPKA. Sebagai perbandingan, sebelum berubah nomenklautur menjadi LPAS, jumlah Lapas Anak hanya tersebar di 17 Provinsi di Indonesia.  Sehingga bisa dipastikan bahwa Anak yang menjadi Tahanan ataupun Warga Binaan di daerah yang tidak memiliki Lapas Anak (saat ini LPKA dan LPAS) berada ditempat penahanan dan Lapas Dewasa.
‎
Berdasarkan Pengamatan ICJR. Dalam praktek satu satunya solusi adalah menitipkan ke dinas sosial di bawah Kemensos, namun ini juga tidak mudah. Pertama, tidak semua wilayah memiliki lembaga sosialnya. Kedua, jika terkait keamanan (misalnya potensi anak lari dari tempat penitipan) Polisi setempat memiliki keterbatasan untuk melakukan penjagaan setiap hari di dinas sosial, dan ada pula soal birokrasi pengamanan di Polri yang harus dilakukan. Intinya untuk penempatan di dinas sosial belum ada peraturan yang mewadahinya. Akibatnya anak-anak juga berpotensi dititipkan ke Rumah Tahanan, yang justru di tolak oleh UU SPPA.
Sebaliknya juga dalam praktek, dalam wilayah tersebut belum ada LPSK (khusus penitipan anak yang berkonflik dengan hukum dibawah 12 tahun) , maka akhirnya anak pun dititipkan juga ke LPAS (untuk usia 14-18 tahun) yang tersedia. Yanglebih problematik adalah bagaimana jika satu wilayah belum ada LPAS, dan LPKS dan RPKA maka bagi anak yang di tangkap terpaksa masuk Rutan Polisi. Akibatnya tidak terhindarkan kondisi anak yang ditahan sejak penyidikan sampai dengan putusan pengadilan demi menjaga keamanan, karena tidak adanya lembaga yang diamanatkan oleh UU SPPA.Â
Anak seharusnya tidak di masukkan ke dalam Rutan, baik Rutan yang dikelola oleh Dirjen Lapas maupun Rutan yang dikelola Polri. Pelanggaran atas hal ini jelas bertentangan dengan perintah UU SPPA dan pelanggaran atas hak anak.
ICJR merekomendasikan pemerintah harus mencari solusi transisi dalam masalah tempat penitipan bagi anak yang berkonflik dengan hukum jika lembaga-lembaga tersebut belum tersedia. ICJR mendorong kesepakatan baru di tingkat Kemehukham, Polri dan Kemensos untuk mencari solusi terbaik bagi kondisi ini. Sekaligus mendorong peraturan operasional agar anak tidak di tempatkan di Rutan.
ICJR juga mendesak agar Pemerintah tidak memperlama pembentukan lembaga-lembaga tersebut. Secara lebih merata di seluruh wilayah Indonesia. Semakin lama pemerintah membentuk LPAS, LPKS dan RPKA, maka potensi pelanggaran hak-hak anak yang berkonflik dengan hukum akan makin terbuka lebar. Tujuan lahirnya UU SPPA juga terancam jika Pemerintah menutup mata atas keterlambatan tersebut.
Oleh ‎Supriyadi Widodo Eddyono
Direktur Eksekutif, ‎Institute for Criminal Justice reform (ICJR)