KedaiPena.Com – Revisi Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3) telah disepakati dalam rapat paripurna DPR, pada Senin (12/2/2018). Hal ini memantik reaksi banyak kalangan.
Banyak kalangan yang menduga bahwa disahkannya Undang-undang MD3 tersebut lantaran adanya barter kesepakatan pasal penghinaan presiden yang masuk dalam rancangan UU KUHP.
Gerindra yang merupakan partai oposisi pemerintah tidak menerima bawah pengesahan revisi Undang-undang MD3 disebut sebagai sebuah barter yang dilakukan oleh DPR dengan rezim.
Sekretaris Jendral (Sekjen) Partai Gerindra, Ahamd Muzani membantah tuduhan miring tersebut. Muzani menyebut revisi UU MD3 sebagai sebuah hal yang mendesak.
“Enggak. Jadi UU MD3 ini kan adalah UU yang mengatur tentang mekanisme tata cara aturan main internal DPR dan DPRD,” ujar Muzani saat di wawancara oleh wartawan di Komplek, Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (14/2/2018)
Kemudian, Muzani juga menjelaskan, bahwa revisi UU MD3 merupakan cara untuk meningkatkan produktivitas dan menjaga stabilitas kompakan di DPR serta MPR.
“Karena dari dulu kita ingin penataan kembaga ini lebih baik lagi,” tegas anggota Komisi I DPR RI ini.
Terkait imunitas yang dimiliki oleh DPR dengan adanya revisi UU MD3 tersebut, Muzani meyakini, hal tersebut akan meningkatkan daya kritis dari DPR sendiri.
Diketahui, selain soal penambahan kursi pimpinan DPR, MPR, dan DPD, revisi UU MD3 menghidupkan kembali hak imunitas anggota Dewan.
Hal ini tertuang dalam pasal 245 yang mengatur pemeriksaan terkait proses hukum anggota Dewan yang harus melalui pertimbangan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) sebelum kemudian meminta izin kepada presiden.
“Ini harus dimaknai sebagai sebuah dorongan agar DPR menjadi lebih kritis lagi dalam memperjuangkan kepentingan rakyat kepentingan negara,” beber Muzani.
“Dan imunitas yang diberikan harus dimaknai bagaimana setiap anggota dewan berani memperjuangkan kepentingan yang diwakilinya, berani memperjuangkan kepentingan negara,” pungkas Muzani.
Laporan: Muhammad Hafidh