KedaiPena.Com- Rancangan Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan telah disahkan menjadi Undang-Undang dalam Sidang Paripurna DPR RI, pada Kamis (15/12/2022).
Menanggapi hal tersebut, Anggota Komisi XI DPR RI Fraksi Partai Golkar Puteri Komarudin ungkap UU ini telah mengakomodir perkembangan digitalisasi di sektor keuangan.
“Pesatnya digitalisasi telah menimbulkan disrupsi yang signifikan bagi sektor keuangan. Ini tidak hanya mengubah proses bisnis yang semakin efisien dan cepat, seperti hadirnya beragam produk keuangan berbasis digital, dan sistem pembayaran digital. Tetapi juga mulai maraknya kasus-kasus keuangan digital, seperti pinjaman online ilegal, trading binary option, aset kripto ilegal,” ungkap Puteri dalam keterangan tertulis, Sabtu,(17/12/2022).
Untuk itu, lanjut Puteri, dibutuhkan pengaturan serta pengawasan yang adaptif dan berorientasi forward looking yang mampu menangkap perubahan lanskap dan ekosistem sektor keuangan yang semakin dinamis.
Tetapi, kata Putri, juga tetap memberikan ruang gerak untuk berinovasi dengan mengedepankan perlindungan konsumen.
“UU ini jadi payung hukum terkait Inovasi Teknologi Sektor Keuangan (ITSK), yang belum memiliki landasan hukum yang kuat. Nantinya, ITSK akan mencakup sistem pembayaran, penyelesaian transaksi surat berharga, penghimpunan modal, pengelolaan investasi, pengelolaan risiko, dan aktivitas jasa keuangan digital lainnya. Kita wajibkan penyelenggara ITSK harus berizin hingga penuhi ketentuan kepesertaan asosiasi penyelenggara ITSK,” tutur Puteri.
Kemudian, untuk memperkuat pengawasan terhadap aktivitas aset kripto, pemerintah dan DPR sepakat untuk memindahkan pengawasan ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
UU ini nantinya memberikan waktu transisi selama 2 (dua) tahun untuk memindahkan peran pengawasan dari Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) ke OJK.
“Nantinya akan ada tambahan anggota Dewan Komisioner OJK yang fokus mengawasi ITSK, aset keuangan digital, dan aset kripto. Sehingga kita bisa menciptakan ekosistem aset kripto yang komprehensif, produktif, dan aman bagi konsumen. Karenanya, proses transisi harus berjalan baik dan tidak menimbulkan gejolak terhadap perkembangan transaksi aset kripto. Harus disertai transfer knowledge antar otoritas secara maksimal,” ucap Puteri.
Selain itu, UU ini juga memberikan landasan bagi bank umum yang beroperasi sebagai bank digital yang sebelumnya hanya diatur dalam bentuk Peraturan OJK. Bank umum ini juga wajib memiliki 1 (satu) kantor fisik sebagai kantor pusatnya.
“Kini mulai hadir bank digital yang beroperasi dan ke depan ini akan menjadi tren tersendiri dalam lanskap perbankan. Jadi, kita butuh penguatan dasar pengaturan untuk merespon hal ini dan menjamin perlindungan bagi nasabah,” ucap Puteri.
Lebih lanjut, UU PPSK juga mengatur ketentuan mengenai Rupiah digital, yang melengkapi macam Rupiah lainnya, yaitu Rupiah kertas dan Rupiah logam. Rupiah digital ini memiliki fungsi yang sama sebagai alat pembayaran yang sah di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
“Adopsi aset kripto yang meningkat memicu kekhawatiran akan risiko shadow currency, seiring penciptaan aset kripto terjadi di luar sistem moneter formal. Inilah yang coba diantisipasi dengan pengembangan Rupiah digital. Selain aspek legalitas berupa UU, tentu masih banyak aspek lain yang perlu dipersiapkan secara hati-hati. Mulai dari penerbitan, distribusi dan pencatatan, akses, penggunaan, infrastruktur dan teknologi, hingga pengendalian risiko dan keamanan siber,” pungkas Puteri.
Laporan: Muhammad Hafidh