KedaiPena.com – Menilai kebijakan dari Ketua BP2MI tak memberikan hal positif pada para Pekerja Migran Indonesia (PMI), Wasekjen 1, Komisi Nasional Lembaga Pengawasan Kebijakan Pemerintah dan Keadilan, Amri Piliang menyatakan pemerintah perlu meninjau ulang kebijakan yang sudah dikeluarkan oleh Ketua BP2MI.
Menurutnya, UU No.18 Tahun 2017 Pasal 30, melarang pembebanan biaya Penempatan kepada Pekerja Migran Indonesia. Hal ini juga diatur melalui Perka No.09/2020 yang telah berlangsung dua tahun.
“Menurut pandangan kami selaku Lembaga Pengawasan Kebijakan Pemerintah dan Keadilan, bahwa kebijakan yang mengatur komponen biaya penempatan adalah keliru,” kata Amri, Sabtu (16/4/2022).
Ia menyatakan alasannya adalah karena ada komponen biaya pelatihan dan sertifikasi yang telah diatur secara khusus oleh Pasal 39, 40, 41 UU No.18/2017 yang menjadi Kewenangan Dirjen Binalatas Kemnaker diambil alih oleh Perban No.09/2020.
“Sehingga beban biaya yang seharusnya menjadi tanggungjawab pemerintah menjadi beban Majikan atau Pengguna,” ucapnya.
Ia mengakui bahwa kebijakan ini pasti akan dipandang memberatkan oleh Majikan dan kemungkinan tak mau menerima.
“Seharusnya kebijakan tersebut dibuat melalui kajian yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan dan melakukan diplomasi yang matang dengan negara-negara Penempatan, khususnya Taiwan, Hongkong, dan Singapura tentang Penerapan Zero Cost,” ucapnya lagi.
Waktu terus berlalu, Perban No.09/2020 pun tidak dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan, bahkan Beny Rhamdani telah siap mengambil sikap mundur dari jabatannya sebagai Kepala BP2MI apabila Peraturan Kepala BP2MI No.09/2020 tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Tapi Beny belum juga mundur hingga saat ini menciptakan keadaan Zero Penempatan Resmi dan maraknya Penempatan Unprosedural atau ilegal.
Penantian para CPMI terus berlangsung, hingga 1 Tahun kemudian diterbitkan Kepka No.214/2021 Tentang Biaya Penempatan melalui skema KUR/KTA BNI untuk 10 Jenis Jabatan tertentu sector Pengguna Perseorangan yang kontra Produktif dengan Pasal 30 UU No.18/2017 dan Perka No.09/2020 yang menurut pandangan kami adalah Penjeratan Hutang ijon/rente.
Lagi-lagi kebijakan tersebut tidak juga dapat dilaksanakan karena PMI Pengguna Perseorangan telah ditanggung secara keseluruhan oleh Majikan atau Pemberi Kerja.
“Seharusnya yang diberikan fasilitas KUR adalah PMI Pengguna Berbadan Hukum yang selalu diminta uangnya diawal proses, hingga tidak jarang menjual harta bendanya, jual hewan ternaknya, bahkan meminjam uang Ijon/Rente untuk dapat berangkat kerja keluar negeri. Itupun masih ditipu oleh para pelaku Penempatan,” tuturnya.
Amri menyatakan pangkal masalahnya ada pada Perka No.09/2020 tadi dan belum adanya Collection di negara Penempatan.
“Waktu terus berlalu dengan Zero Penempatan dan ketidakpastian Tata Kelola Penempatan PMI hingga 2 tahun berlalu, maka diterbitkan kembali Kepka No.72/2022 tentang KUR PMI sebagai turunan Permenko Perekonomian. Namun hingga detik ini pun belum juga bisa dilaksanakan karena masih menunggu cost structure dari BP2MI sebagai juknis pelaksanaan yang hingga detik ini belum juga terbit,” tuturnya lagi.
Oleh karena itu, Komisi Nasional Lembaga Pengawasan Kebijakan Pemerintah dan Keadilan meminta kepada Pemerintah dan Lembaga/instansi terkait untuk segera melakukan evaluasi terhadap seluruh kebijakan yang dikeluarkan Kepala BP2MI mulai dari Perban 09/2020, Kepka 214/2021 & Kepka 72/2022 yang dibuat menggunakan anggaran negara yang cukup besar.
“Hasilnya sama sekali belum ada dirasakan oleh rakyat maupu para PMI beserta keluarganya, yang konon dilindungi dari ujung rambut sampai ujung kaki. Sudah berapa besar Nilai KUR/KTA PMI yang tersalurkan? Sudah berapa banyak PMI yang telah menerima manfaat Fasilitas KUR/KTA selain Negara Tujuan Korea? karena Korea sudah berjalan sejak lama, jauh sebelum adanya UU No.18/2017. Bahkan diduga kuat kebijakan ini hanya untuk menghabiskan anggaran negara dan untuk mendapatkan LPj Ceremonial saja setiap Launching Kebijakan Baru,” pungkasnya.
Laporan: Hera Irawan