KedaiPena.Com – Upaya peretasan akun pegiat anti-korupsi yang bersuara tentang penerapan Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) dinyatakan sebagai bentuk pembungkaman kebebasan berekspresi.
Direktur Eksekutif Amnesty International Usman Hamid menyatakan peretasan dan percobaan akun media sosial para aktivis yang mengkritik tes wawasan kebangsaan KPK adalah pelanggaran hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi.
“Ini bukan pertama kalinya orang yang lantang mengkritik kebijakan pemerintah mengalami peretasan dan serangan digital lainnya. Kami memandang serangan seperti ini dapat dilihat sebagai pembungkaman kritik,” kata Usman yang juga merupakan Ketua Dewan Pengurus lembaga kajian demokrasi Public Virtue Research Institute (PVRI) kepada awak media, Rabu (18/5/2021).
Ia bahkan mengungkapkan jika Presiden Jokowi benar-benar berkomitmen untuk melindungi dan menjamin kebebasan berekspresi maka Pemerintah dan aparat penegak hukum harus mengusut kasus ini secara transparan dan bisa dipertanggungjawabkan.
“Semua pelaku peretasan wajib ditangkap, diproses dengan adil dan dijatuhkan hukuman sesuai dengan undang-undang yang berlaku,” katanya tegas.
Pada konferensi pers ICW dengan delapan mantan pimpinan KPK terkait pemberhentian 75 pegawai KPK yang dianggap gagal melewati tes wawasan kebangsaan, pada tanggal 17/5 lalu, menunjukkan bahwa memang ada upaya dari pihak-pihak tertentu dalam menginterupsi aktivitas pegiat anti-korupsi.
Sepanjang jalannya konferensi pers banyak gangguan yang terjadi, seperti penunjukkan foto dan video porno di dalam ruangan Zoom, pembajakan akun ojek online moderator, peretasan terhadap akun WhatsApp staf ICW, percobaan peretasan akun email dan Telegram staf ICW dan peretasan akun WhatsApp Busyro Muqoddas dan Bambang Widjojanto.
Bahkan upaya peretasan juga terlihat dari tindakan mematikan pengeras suara (microphone) dan video para pembicara. Percobaan peretasan juga terjadi terhadap anggota LBH Jakarta dan Lokataru.
“Kasus ini bukanlah kasus intimidasi dan seragan digital pertama yang dicatat oleh Amnesty Internasional Indonesia,” tuturnya.
Pada bulan Agustus 2020, akun Twitter epidemiolog Pandu Riono dan laman berita Tempo.co juga diretas.
“Pandu Riono dikenal lantang menyuarakan kritiknya terhadap kebijakan Pemerintah dalam menangani wabah COVID-19. Sementara pemberitaan Tempo banyak menyorot keprihatinan politik dan sosial yang terjadi di dalam negeri, termasuk juga mengkritisi rezim yang sedang berkuasa,” urai Usman.
Pada bulan April 2020, kasus serupa terjadi kepada aktivis Ravio Patra yang secara terbuka mengkritik kekurangan transparansi data tentang pasien COVID-19. Akun whatsapp Ravio diretas dan ia kemudian diamankan oleh polisi karena menyebarkan provokasi melalui akun whatsapp-nya tersebut.
Sepanjang 2020, Amnesty mencatat ada setidaknya 66 kasus serangan digital yang melanggar hak kebebasan berekspresi dengan total 86 korban, termasuk di antaranya 30 aktivis dan 19 akademisi.
“Hak atas kebebasan berpendapat dan menyampaikan informasi sudah dijamin dan dilindungi di berbagai instrumen hukum,” ujar Usman lebih lanjut.
Secara internasional, hak atas kebebasan berpendapat dan menyampaikan informasi dijamin di pasal 19 di Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) serta Komentar Umum No. 34 terhadap Pasal 19 ICCCP. Hak tersebut juga dijamin di Konsitusi Indonesia, yaitu Pasal 28E dan 28F UUD, serta pada Pasal 14 UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Laporan: Natasha