KedaiPena.Com – Kementerian Keuangan era Jokowi terlalu murah hati kepada investor pasar uang, sehingga gemar mengobral surat utang dengan bunga (kupon/yield) tinggi. Besaran bunga surat utang pemerintah Indonesia termasuk yang tertinggi di Asia Pasifik, bahkan lebih tinggi dari negara-negara dengan peringkat investasi di bawah Indonesia.
Demikian disampaikan oleh Gede Sandra, peneliti Pergerakan Kedaulatan Rakyat kepada KedaiPena.Com, Senin (28/1/2019).
Kebijakan penarikan utang bunga tinggi secara masif, seperti yang tengah dilakukan beberapa bulan terakhir-ini akan merugikan rakyat Indonesia di masa mendatang (karena membayar lebih mahal dari yang seharusnya), tetapi dalam jangka dapat memperkuat nilai tukar Rupiah secara sementara.
Sementara itu, Ekonom Senior Faisal Basri dalam keterangannya menyebut bahwa selama kurun waktu 2014-2018 belanja untuk pembayaran bunga utang tumbuh tinggi hingga 94%.
Dia bilang, surat utang pemerintah Indonesia dalam rupiah (local currency bonds) yang dipegang oleh investor asing relatif sangat besar, bahkan terbesar di antara negara berkembang.
Hal ini mengakibatkan perekonomian Indonesia sangat rentan terhadap gejolak eksternal. Yield surat utang Indonesia bertenor 10 tahun pun tergolong tinggi, yaitu 8,1% per 25 Januari 2019.
“Sekalipun utang pemerintah Indonesia masih relatif rendah, namun beban pembayaran bunga utang terhadap APBN terus meningkat,” kata Faisal Basri belum lama ini.
Hal ini pun diamini Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution. Ia mengakui bahwa imbal hasil (yield) utang pemerintah lebih tinggi dibandingkan negara tetangga.
Surat utang negara (SUN) dengan tenor 10 tahun ditawarkan dengan imbal hasil sekitar 8%.
“Kalau yang dihitung utang itu misalnya obligasi pemerintah, kemungkinannya lebih tinggi. Karena yang namanya obligasi kita lebih tinggi bunganya daripada Malaysia, daripada Thailand,” ujar Darmin di Komplek Istana, Jakarta Pusat, Selasa (29/1/2019).
Meski demikian, kata Darmin, setiap negara memiliki kebijakannya masing-masing. Sehingga bukan hal yang baru jika memberikan tawaran yang lebih tinggi.
“Setiap negara itu nggak sama kalau dihitungnya itu obligasi pemerintah. Kalau dihitung utang langsung, itu nggak beda banyak,” jelas dia.
Laporan: Ranny Supusepa