JANJI pemerintah untuk memiliki 51% saham Freeport, hingga saat ini belum juga dapat direalisasikan. Padahal, batas awal yang disediakan adalah hingga 10 Januari 2018, bersamaan dengan habisnya masa berlaku Izin Usaha Pertambangan Khusus Sementara (IUPKS) Freeport pada tanggal tersebut.
Namun, upaya tersebut kini gagal. Untuk menutupi kegagalannya, pemerintah kini malah memperpanjang lagi IUPK sementara Freeport hingga Juni 2018.
Anehnya lagi, walau IUPK sementara berlaku hanya sampai 30 Juni 2018, namun Izin ekspor konsentrat Freeport diperpanjang hingga Februari 2019.
Sehingga, alih-alih menyelesaikan masalah, perpanjangan IUPK sementara untuk Freeport justru malah semakin menumpuk masalah, tidak jelas, dan amburadul.
Selama 6 bulan terakhir, baik Freeport maupun pemerintah memang tampak tidak serius untuk merealisasikan divestasi 51% saham Freeport.
Bukannya apa-apa, sebab memang kesepakatan yang sempat diberitakan sangat heroik dan penuh harapan saat itu, masih multi tafsir.
Faktanya, pemerintah dan Freeport memiliki pandangan yang berbeda. Pemerintah menyebut kesepakatan dengan Freeport sudah final.
Sementara Freeport menyebut kesepakatan dengan pemerintah baru sebatas kerangka kerja sama. Semestinya, sebagai sebuah hasil kesepakatan, tidak boleh ada multi tafsir.
Kalau seperti ini, apakah hasil pertemuan 29 Agustus 2017 lalu dapat disebut kesepakatan? Atau jangan-jangan itu justru merefleksikan kesepakatan kedua belah pihak untuk tidak sepakat?
Jika ditengok lebih dalam, ada sejumlah alasan penyebab amburadulnya tata kelola pemerintah dalam masalah Freeport.
Pertama, terkait dasar hukum IUPK sementara Freeport. Selain tidak taat prosedur, IUPK sementara untuk Freeport pada dasarnya tidak memiliki dasar regulasi yang kuat.
IUPK sementara bukan bentuk negosiasi yang sesuai dengan ketentuan UU Minerba. Meski pemerintah mengklaim IUPK sementara yang mengikat Freeport, diatur di dalam Permen ESDM No.5 tahun 2017, itupun tidak dapat diterima.
Sebab kalau kita merujuk pada UU Minerba, maka di dalam UU Minerba tidak dikenal terminologi IUPK sementara.
Yang ada hanyalah istilah IUPK, KK, dan IUP. Lantas, apa dasar hukumnya pemerintah mengeluarkan IUPK sementara untuk Freeport? Apakah cukup diatur oleh Permen yang jelas posisinya jauh di bawah UU?
Jika mau menggunakan bentuk perjanjian IUPK, prosesnya tidak bisa serta merta dari KK menjadi IUPK. IUPK diberikan kepada WIUPK (Wilayah Izin Pertambangan Khusus).
Sebelum ada WIUPK, ada yang namanya WUPK (Wilayah Usaha Pertambangan Khusus). Dan semua itu harus melalui proses dan mendapat persetujuan dari DPR.
Tapi dalam kasus Freeport, semua proses ini dipotong. Pemerintah langsung merubah KK Freeport menjadi tidak hanya IUPK, tapi IUPK Sementara (IUPKS). Satu istilah yang tidak dikenal dalam UU Minerba.
Dari mana asal-usulnya dan landasan hukumnya, menjadi sangat tidak jelas. Sekalipun hal tersebut coba diatur di dalam Permen ESDM No. 5/2017, namun tetap saja itu bertentangan dengan UU Minerba. Prinsipnya, Permen tidak boleh bertentangan dengan aturan di atasnya, yakni UU.
Kedua, terkait kesepakatan divestasi 51% saham Freeport. Meski pemerintah mengklaim poin ini telah disepakati bersama dengan Freeport, namun faktanya dalam enam bulan terakhir target tersebut tidak juga tercapai.
Tidak tercapainya target divestasi 51% hingga 10 Januari 2018, mengandung dua sebab kemungkinan. Yaitu, antara pemerintah yang memang tidak mampu membeli saham Freeport, atau justru memang Freeport sendiri yang enggan melepaskan sahamnya tersebut. Saya melihat, kedua faktor tersebut justru hadir bersamaan.
Ketidakmampuan pemerintah untuk membeli saham Freeport cukup jelas. Apalagi Freeport mencoba mengkalkulasi harga sahamnya sesuai dengan perhitungannya sendiri. Ketidakmampuan pemerintah adalah hal yang tidak bisa ditutup-tutupi.
Apalagi ruang fiskal kita saat ini sangat sempit di tengah pembangunan infrastruktur yang kian agresif. Sehingga, kefrustasian tersebut harus dibayar oleh pemerintah dengan kembali memperpanjang IUPK sementara Freeport hingga 30 Juni 2018.
Kalau pemerintah punya cukup anggaran, maka langkah divestasi bisa segera dilaksanakan. Tapi faktanya tidak. IUPK sementara terus diperpanjang. Dengan memperpanjang IUPK sementara, justru ini semakin memperjelas ketidakmampuan pemerintah.
Alasan yang sering dikemukakan, kita butuh tambahan waktu untuk berunding kembali. Padahal yang sesungguhnya adalah, kita butuh cari skenario untuk mengakali ketidakmampuan anggaran saat ini untuk mencapai target agregat 51% saham Freeport.
Selain ketidakmampuan finansial pemerintah, di sisi lain, saya juga melihat keengganan Freeport untuk benar-benar melepaskan sahamnya kepada pemerintah. Indikasi awal dapat dilihat dari sikap Freeport yang melihat kesepakatan 29 Agustus 2017 dengan pemerintah, baru sebatas sebagai kerangka kerja sama.
Hal ini berbeda dengan pandangan pemerintah yang melihat kesepakatan tersebut sebagai sesuatu yang final. Apalagi saat ini, ada semacam kesan yang kuat Freeport justru ingin mendorong agar saham divestasi yang dibeli oleh pemerintah Indonesia, diambil dari konversi saham Rio Tinto group, yang akan segera hengkang dari Freeport.
Parahnya lagi, pemerintah kita tertarik. Jika skenario ini yang diambil pemerintah, maka ini semakin menegaskan ketidakmampuan sebenarnya pemerintah untuk melakukan divestasi langsung saham Freeport.
Sebab, kepemilikan Rio Tinto di Freeport sebenarnya bukan kepemilikan saham, melainkan hak partisipasi, atau Participating Interest (PI) sebesar 40%. Dimana sesuai kesepakatan Rio Tinto dan Freeport, PI ini baru bisa dikonversi menjadi saham pada tahun 2022. Jadi sekali lagi, yang dimiliki Rio Tinto dari Freeport saat ini bukanlah saham. Namun hanya Participating Interest (PI) sebesar 40%, yang baru bisa dikonversi menjadi saham pada 2022.
Dengan adanya rencana pemerintah membeli saham Rio Tinto, tentu hanya akan membuat urusan semakin rumit, kalau bukan sebagai akal-akalan pemerintah. Jika demikian, maka pemerintah sedang berakobrat. Sebab, konversi 40% Participating Interest (PI) yang Rio Tinto pegang, juga belum dapat dipastikan nilainya jika disetarakan dengan nilai saham.
Perubahan dari Participating Interest (PI) menjadi saham, merupakan kesepakatan yang akan diputuskan antara Freeport dan Rio Tinto. Artinya, sekalipun pemerintah saat ini berhasil mengambil 40% hak partisipasi Rio Tinto, hal itu tidak serta merta dapat diklaim sebagai pencapaian pemerintah dalam memenuhi agregat 51% divestasi saham Freeport.
Tapi, mau tidak mau upaya ini dibutuhkan pemerintah sekarang. Terutama untuk seekdar memenuhi ekspektasi publik yang terlanjur di PHP-in. Sebab sejak awal, narasi yang disuguhkan pemerintah kepada publik dalam isu Freeport memang didesain hanya sebagai narasi hiburan populis, bukan sebagai sebuah narasi penyelesaian yang paripurna.
Oleh Direktur Eksekutif Institute for Policy Studies, Muhammad Tri Andika S.Sos.,M.A