BIASANYA banyak yang membahas ambang batas itu tersendiri dan membahas mahar politik secara tersendiri juga. Seolah-olah tidak ada kaitan satu sama lainnya. Seolah-olah masing-masing berdiri sendiri.
Padahal dua hal itu itu saling terkait. Hanya saja dinarasikan secara berbeda, seolah-olah ambang batas itu terkait masalah efisiensi biaya, memperkuat sistim presidensial, penyederhanaan partai, penyederhanaan pelaksanaan pemilu dan sebagainya.
Padahal dengan menaikkan ambang batas tersebut, yang jelas terjadi adalah memperkecil jumlah partai. Hal ini bisa menjadi faktor dominan dalam kelompok partai yang berhak mencalonkan Presiden atau duduk di DPR.
Dan dengan demikian, menjadi menaikkan nilai tawar atau nilai negosiasi partai tersebut dalam menentukan calon presiden atau hak partai untuk duduk di DPR.
Dengan demikian pula, patut diduga berakibat kepada naiknya tarif uang mahar yang selalu dilaksanakan dalam ruang tertutup, pribadi bertemu pribadi, dalam bentuk uang ‘cash’. Konon sebagian besar berupa valuta asing dan sebagian berupa berlian tanpa kesaksian siapapun dan bukti apapun
Di lain pihak, secara hukum, perdagangan gelap politik, ini tidak bisa dijangkau oleh KPK. Karena menurut UU Tipikor no 31/1999 yang diubah menjadi UU no 20/2001, KPK hanya diberi wewenang secara legal untuk memonitor, menindak dan melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) hanya kepada pejabat negara.
Sedangkan pejabat tinggi partai, caleg, calon kepala daerah bahkan capres cawapres, belum tentu pejabat negara, karena itu tidak akan bisa di OTT.
Jadi status bukan pejabat negara atau istilah resminya di dalam Undang-undang, adalah celah hukum yang bisa dimanfaatkan oleh pelaku pemberi dan penerima mahar politik.
Dan sampai saat ini celah hukum itu masih dipelihara terus dan tidak pernah ada niat untuk menutupnya. Inilah siasat para elit politik untuk terus menerus memelihara korupsi di negara ini.
Oleh Bambang Wisanggeni, Pemerhati Sosial Politik