Artikel ini ditulis oleh Gede Sandra, dosen di UBK, Ketua Sarjana untuk Indonesia.
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata mengungkapkan mahalnya biaya politik di Indonesia. Dalam sebuah diskusi yang berlangsung di Jakarta kemarin (30/6/2022), Alexander Marwata mengungkap hasil survei KPK yang menyebut bahwa untuk menjadi calon kepala daerah tingkat II (Walikota/Bupati) diperlukan dana Rp 20-30 miliar. Sementara untuk jadi Gubernur diperlukan dana Rp 100 miliar.
Nilai yang sangat fantastis.
Artinya setiap calon Bupati harus mencari seorang cukong, atau beberapa
cukong, untuk bisa menyediakan dana sebesar Rp 30 miliar. Bersyukur bila si calon bupati tersebut adalah pengusaha yang sukses, sehingga mempunyai dana sebesar Rp 30 miliar tersebut. Atau setidaknya memiliki aset yang seharga Rp 30 miliar.
Tapi kan tidak semua politisi atau aktivis seberuntung itu. Kebanyakan mereka seumur hidupnya hanya bergerak di jalanan, mengajar, menulis, kalaupun bekerja professional tentu tabungannya tak sampai puluhan miliar rupiah.
Sehingga mereka harus cari cukong, tentu haruslah pengusaha sukses, yang tabungannya gemukgemuk. Paling tidak, bila si cukong mau modalin seorang calon bupati, tabungan di rekeningnya
setidaknya harus di atas Rp 100 miliar.
Sehingga misal dia sumbangkan Rp 30 miliar untuk membiayai seorang calon bupati, maka nilai sumbangannya itu “hanya” 30% tabungannya. Jadi seorang cukong pilkada idealnya memiliki tabungan di atas Rp 100 miliar.
Sekarang pertanyaan berikutnya, berapa banyak orang yang memiliki tabungan di atas Rp 100 miliar? Di bawah ini adalah tabel berbagai nilai tabungan dan jumlah pemilik rekening tabungan dengan nilai tersebut. Data tabel di bawah (di atas Rp 10 miliar dan seterusnya) saya interpolasi dari data milik Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) bulan Mei 2022, yang hanya menyampaikan data pemilik simpanan di atas Rp 5 miliar (122 ribu rekening).
Berdasarkan tabel tersebut, ternyata jumlah pemilik rekening tabungan di atas Rp 100 miliar hanya 2.876 rekening. Artinya nasib dari calon-calon peserta pilkada di 480-an kota dan kabupaten tergantung dari 2.876 calon cukong. Mungkin ada juga pemilik rekening di atas Rp 100 miliar tersebut yang mencalonkan dirinya sendiri.
Meskipun tentu tidak semua cukong sepercaya diri itu, mereka lebih baik
membiayai politisi. Itu kalau pilkada tingkat II, bagaimana dengan pilkada Gubernur yang setiap calonnya memerlukan dana Rp 100 miliar? Mengulang logika sebelumnya, tentu harus mencari cukong yang memiliki
tabungan di atas Rp 500 miliar, sehingga sumbangan Rp 100 miliar “hanya” 20 persen dari total tabungannya.
Dan berdasarkan tabel, cukong dengan kekayaan tabungan di atas Rp 500 miliar ini lebih sedikit lagi, hanya ada 265 rekening tabungan. Jadi para peserta Pilkada Gubernur di 34 Provinsi nasibnya tergantung 265 orang super kaya pemilik rekening tersebut.
Sekarang bagaimana dengan Pilpres? Pemilihan Presiden. KPK memang belum mengungkap berapa nilai dana yang diperlukan untuk modal nyapres. Tapi berdasar kesaksian tokoh-tokoh di media massa yang pernah ditawari “tiket nyalon” oleh para ketua umum partai politik, nilainya lebih dari Rp 1 triliun.
Nilai sebesar itu, terkonfirmasi, hanya untuk membayar kendaraan partai-partai politik agar dapat mencapai 20 persen ambang batas/threshold.
Jika untuk seorang capres memerlukan dana Rp 1 triliun, artinya cukongnya harus orang-orang berstatus crazy rich yang tentu dapat mengumpulkan sesama crazy rich untuk menyumbang.
Berdasarkan tabel di atas hanya 63 orang di Indonesia yang memiliki rekening tabungan di atas Rp 1 triliun. Artinya hanya 63 orang taipan tersebut yang mengendalikan pemilihan presiden Indonesia.
Segelintir dari taipan ini, atau keluarga taipan, memberanikan diri untuk menjadi calon presiden atau wakil presiden. Dalam pilpres yang lalu sebut saja ada nama Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno yang namanya sering masuk ke dalam daftar 100 orang terkaya di Indonesia.
Perlu diingat 63 taipan pemilik rekening di atas Rp 1 triliun ini juga sering bermain politik hingga ke level pilkada Gubernur dan Walikota/Bupati juga. Bagi calon kepala daerah, tentu lebih mudah bagi mereka mendapatkan sumbangan dana bila langsung ke para taipan, ketimbang meminta ke pengusaha yang kelasnya masih di bawah taipan.
Buat para taipan pun, sumbangan untuk membiayai calon bupati atau kepala daerah sih jelas ringan saja. Namun tentu sumbangan para taipan ini kepada calon kepala daerah atau calon presiden ini tidak gratis. Tidak ada makan siang yang gratis.
Semua sumbangan ini tentu harus dikembalikan, tidak perlu berupa cash, tetapi bisa dalam bentuk: izin-izin konsesi pertambangan, izin-izin IMB Gedung atau koefisien bangunan, izin wilayah kehutanan, izin proyek reklamasi, hak proyek pembangunan stadion, hak pengadaan event-event internasional, proyek pembangunan ibukota, ataupun jatah proyek-proyek pemerintah dari pusat hingga ke daerah.
Akhirnya para politisi kita yang menjadi kepala pemerintahan, hanya sibuk membayar utang kepada para cukongnya.
Bukan untuk memenuhi janji kampanyenya menyejahterakan rakyat, seperti selalu dipidatokan setiap calon pemimpin sebelum menjabat.
Yang lebih buruk lagi, banyak di antara para pemimpin pemerintahan ini akhirnya terjerat oleh KPK selagi membayar utangnya ke para cukong. Inilah yang menyebabkan ratusan Kepala daerah menjadi tahanan KPK dalam beberapa tahun terakhir.
Jika sudah sebanyak ini yang tertangkap karena korupsi jelas ini bukanlah masalah oknum belaka, tetapi adalah sesuatu yang sudah sistemik.
Sistem politik kita, karena mahalnya, telah disandera para cukong (taipan).
Politik sudah menjadi sarana untuk memperkaya orang yang sudah kaya, seperti para cukong dan taipan. Politik sudah tidak lagi menjadi sarana untuk menyejahterakan rakyat.
Tidak ada lagi calon-calon pemimpin, dari aktivis, intelektual, atau kelas pekerja yang benar-benar murni berasal dan berjuang untuk rakyat. Hanya boneka cukong yang sanggup memasuki sistem politik yang sangat mahal ini.
Sumber utamanya adalah karena masih adanya sistem ambang batas/threshold 20 persen dari pilpres hingga pilkada. Mahalnya biaya untuk mengumpulkan dukungan partai-partai politik untuk mencapai angka ambang batas 20 persen adalah akar penyebabnya.
Dalam sistem ini, akhirnya ketua partai
politik dikondisikan lebih untuk menjadi pedagang (dealer), bukan menjadi pemimpin (leader). Partai-partai politik lebih menjadi komoditi dagangan yang dibeli cukong untuk modal menjadikan para “boneka” cukong sebagai pemimpin politik.
Sistem politik yang sangat korup ini harus diakhiri. Karena itu saya sangat mendukung KPK untuk melakukan tindakan yang lebih konkret: yaitu dengan meminta Mahkamah Konstitusi (MK) agar menghapuskan sistem ambang batas presiden/presidential threshold, yang diikuti dengan dihapuskannya juga sistem ambang batas/threshold (20%) di pilkada-pilkada.
[***]