SEBAGAIMANA kita ketahui, gerakan besar yang dipelopori mahasiswa pada 1998 pada akhirnya menjatuhkan Soeharto. Presiden RI kedua itu sebelumnya telah berkuasa selama 32 tahun dan bercita-cita untuk mengubah situasi politik yang otoriter, kekuasaan hanya berada di satu tangan, menjadi situasi politik yang demokratis.
Reformasi bercita-cita membuat rakyat bisa berpartisipasi dalam politik untuk memperbaiki kehidupannya sendiri. Rakyat bisa menjadi pemimpin-pemimpin dari skala daerah sampai dengan pusat. Bahkan terbuka kemungkinannya untuk mencalonkan diri sebagai calon presiden tanpa hambatan permainan undang-undang, mahar politik dan sebagainya.
Harapan reformasi tersebut sampai dengan Pemilu 1999 masih berjalan dengan baik . Pemilihan Presiden masih dilakukan melalui MPR. Walaupun diwarnai dengan banyak kegaduhan namun berhasil dilewati dengan baik.
Namun sejak 2004, diberlakukan presidential threshold dan parliamentary threshold yang sangat membatasi dan menggerus cita-cita demokrasi yang telah diperjuangkan dengan susah payah selama puluhan tahun, dan baru berhasil di masa reformasi, pasca kejatuhan Soeharto Mei 1998.
Bahkan makin ke mari syarat dalam kedua threshold tersebut makin besar. Dari tadinya di Pemilu 2004 menurut UU no 23 tahun 2003 syarat pencalonan Presiden yang semula 15% kursi DPR dan 20% suara sah akhirnya meningkat menjadi 20% kursi DPR dan 25% suara sah.
Para pendukung threshold tersebut selain para simpatisan oligarki partai penguasa (bentuk baru dari autoriterianisme), juga sebagian dari partai politik besar. Mereka tidak menyadari bahwa sebetulnya terutama dalam presidential treshold, kecuali PDIP, semua partai dirugikan.
PDIP dalam pemilu 2019 berhasil mengumpulkan 19,33% suara, naik hanya 0,38% dari pemilu 2014 yang mengumpulkan suara 18,95%. Namun dalam jumlah kursi di DPR, naik signifikan hingga mencapai 128 kursi yang setara dengan 22,26% dari keseluruhan kursi DPR yang berjumlah 575.
Sehingga dengan demikian PDIP menjadi satu-satunya partai politik yang bila presidential threshold 20% diberlakukan, bisa mengajukan capres tanpa menggandeng partai politik lain.
Tidak ada satupun parpol lain bisa memenuhi syarat tersebut, sehingga mau tidak mau harus berkoalisi dengan PDIP. Atau partai-partai lain mengajukan capres padahal belum tentu mempunyai kecocokan dalam karakter, kemampuan, kompetensi, integritas maupun faktor-faktor ideologis lainnya dengan capres PDIP atau partai-partai lainnya.
Sehingga dalam hal ini, parpol-parpol lain itu “dipaksa cocok” dengan calon PDIP atau parpol lain. Padahal yang mempunyai basis suara dan telah bekerja keras diseluruh Indonesia sampai ke pelosok daerah adalah partai-partai itu sendiri.
Dan adalah suatu keniscayaan apabila suatu partai politik berusaha meraih kekuasaan untuk mewujudkan cita-cita politik dan ideologinya. Apalagi belum tentu calon presiden yang diajukan oleh PDIP lebih baik dari pada yang akan diajukan oleh partai-partai lain tersebut.
Di sinilah kerugian yang dialami oleh partai-partai lain tersebut bilamana presidential threshold diberlakukan. Karena itu, bagaimanapun juga presidential threshold harus dihapuskan menjadi 0%.
Oleh Analis Politik, Bambang Wisanggeni