BEGITU banyaknya persoalan dan tantangan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia saat ini seperti pembangunan infrastruktur, penegakan hukum, ekonomi, birokrasi, keamanan, penciptaan lapangan pekerjaan dst. Namun banyaknya persoalan yang dihadapi pemerintah tersebut hanya puncak dari sebuah gunung es, karena akar dari persoalan tersebut bersumber dari lemahnya sikap mental dan etika dari aparat, pejabat negara serta pelaku-pelaku di dalamnya yang ironisnya tidak pernah diperbaiki secara menyeluruh.
Apabila kita membaca perjalanan sejarah, maka pada tanggal 15 Juli tahun 1963 Presiden Sukarno dalam dokumen Amanat Pemimpin Besar Revolusi telah menuliskan visi proses sikap mental dan etika dalam nation building secara jelas dan terbuka. Disana tertulis keinginan bersama untuk membangun jiwa bangsa yang bersatu, cinta tanah air, persatuan karakter karena adanya persamaan nasib dan patriotisme.
Pentingnya pembangunan mental dan etika bangsa sudah menjadi kerangka berpikir utama dari pendiri bangsa Indonesia. Â Maka yang diperlukan sekarang ini adalah tindakan nyata bagaimana Pemerintah mampu membuat bangsa Indonesia bersedia bekerja keras, disiplin, serta membangun nilai-nilai moral serta etika agar mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lain.
Pemerintah perlu membuat rumusan kualifikasi pengembangan sikap mental bangsa menjadi sesuatu yang tidak dapat terpisahkan yaitu dinamika persaingan, dinamika pasar serta dinamika teknologi. Dengan melakukan analisa terhadap faktor-faktor yang dapat memotivasi dan meningkatkan sikap mental bangsa maka secara bersamaan juga dianalisa hambatan-hambatan budaya apa saja yang dihadapi mayoritas bangsa Indonesia dalam mengembangkan sikap mental dan etika secara nasional dengan melibatkan seluruh komponen bangsa di dalam aktifitas pembangunan mental dan etika.
Dengan adanya keterlibatan yang mendalam dari seluruh lapisan masyarakat seperti pejabat, pengusaha, akademisi, budayawan, pekerja, aktivis dan lain-lain. Dari besarnya keterlibatan tersebut akan diharapkan akan terlihat tiga perilaku mendasar utama yaitu ;
a.        berbicara positif tentang Indonesia,
b.       merasa nyaman dan bangga menjadi bagian dari bangsa Indonesia,
c.        mau berkorban, bekerja ekstra dan memberikan kontribusi maksimal untuk kepentingan bangsa Indonesia.
Kita semua dapat merasakan dan sepakat bahwa setelah proklamasi 1945, ketiga contoh perilaku utama diatas sangat sulit ditemukan di tengah kehidupan masyarakat kita. Hampir pada setiap kesempatan, tidak hanya di dalam negeri bahkan juga pada masyarakat Indonesia yang berada di luar negeri, mulai dari pejabat pemerintah sampai dengan kalangan buruh mereka umumnya justru menampilkan perilaku dan sikap mental yang bertentangan dengan ketiga perilaku diatas.
Kita bisa temukan bahwa jarang sekali mahasiswa yang dapat bicara positif dan bangga menjadi bagian dari bangsa Indonesia. Banyak profesional yang enggan untuk berkontribusi sebagai ‘abdi negara’ yang mumpuni. Bahkan kita melihat betapa sadisnya perlakuan dari negara-negara tetangga terhadap TKI kita yang bekerja di luar negeri, membuat rasa bangga menjadi orang Indonesia secara perlahan luntur.
Dalam merumuskan cetak biru pengembangan sikap mental bangsa, adalah sangat perlu untuk dilakukan secara terintegrasi dengan faktor-faktor lainnya. Prinsipnya secara bersamaan tidak hanya mengembangkan komponen individu manusianya saja tapi juga komponen lain yaitu jaringan pendukungnya.
Faktor pengembangan manusia seutuhnya meliputi hal-hal seperti ketrampilan, ilmu pengetahuan, potensi dan kompetensi dst. Sedangkan faktor jaringan pendukungnya meliputi kelembangaan, revitalisasi program dan lain sebagainya. Visi pengembangan mental dan etika dari manusia Indonesia yang tidak berdiri diatas landasan nation building, sesungguhnya dihinggapi penyakit “retak dalam jiwa†karena mungkin jiwanya dikuasai oleh loyalitas kembar atau loyalitas ganda.
Pemerintah melalui instansi terkait secara terus menerus mengupayakan program pengembangan seluruh komponen diatas dan disesuaikan dengan kondisi atau dinamika bangsa Indonesia untuk menghindari sifat eksklusif dengan jalan penyatuan dan pembauran (asimilasi) sehingga hal tersebut akan menjadi sebuah keunggulan kolektif (collaborative advantages) yang akhirnya akan menjadi kunci keberhasilan persaingan bangsa Indonesia di masa mendatang.
Oleh Ivan Taufiza, Pemerhati SDM‎