KedaiPena.Com – Alumnus Fakultas Hukum USU,  Kurnia Ramadhana menyatakan penolakan tegas atas rencana menjadikan kampus plat merah itu sebagai lokasi pembahasan revisi UU KPK yang kini tengah digadang-gadang oleh DPR melalui Badan Keahlian.
“Setelah dilaksanakan di Padang dan Jakarta, salah satu kota yang menjadi target sosialisasi DPR yang diwakili oleh Badan Keahlian DPR adalah Medan, Sumatra Utara. Informasi yang diperoleh menyatakan bahwa sosialiasi RUU KPK dalam bentuk Seminar ini akan diadakan di Kampus Universitas Sumatera Utara (USU) pada tanggal 17 Maret 2017 di Fakultas Hukum USU,†ungkap Kurnia dalam rilis yang diterima awak media di Medan, Senin (13/3).
Sebelumnya, Kurnia mengaku terkejut, isu revisi tersebut kembali muncul ditengah euforia Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak dan proses penyidikan skandal korupsi proyek E-KTP.
Karena itu Kurnia menegaskan, bahwa kegiatan seminar yang dinilai memfasilitasi upaya pelemahan KPK sudah selayaknya ditolak atau dibatalkan. Pihaknya juga telah membuat petisi online (https://www.change.org/p/tolak-pelemahan-kpk) untuk mendesak Rektor USU agar menolak memfasilitasi DPR RI, dalam hal ini Badan Keahlian DPR mengadakan seminar tentang Revisi UU KPK di Fakultas Hukum USU.
“Petisi itu dibuat pada hari Sabtu (11/3) kemarin, dan pada hari ini, Senin (13/3) telah mencapai angka 462 tandatangan,†sebutnya.
Kurnia menjelaskan, dorongan penolakan atau pembatalan digunakannya kampus menjadi dasar legitimasi pelemahan KPK didasarkan pada 3 alasan. Pertama, Perguruan Tinggi seharusnya berada dibarisan terdepan untuk memperkuat KPK bukan justru menjadi bagian pelemahan KPK.
“Dimana pihak universitas sebagai panggung akademik seharusnya bisa menilai dan menimbang tentang niat DPR yang selalu ingin melemahkan upaya pemberantasan korupsi. Apalagi mengingat pada Ferbruari 2016 lalu sebanyak 160 Guru Besar dari berbagai universitas di Indonesia termasuk dari USU telah menyatakan sikap penolakan terhadap Revisi UU KPK,†jelas Kurnia.
Hingga saat ini, kata Kurnia, KPK telah melakukan kerjasama dalam bentuk nota kesepahaman  atau MoU dengan 82 Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta di Indonesia. Tentu ini mengartikan bahwa seharusnya Perguruan Tinggi ada dibarisan terdepan untuk memperkuat basis gerakan antikorupsi di Indonesia.
Alasan kedua lanjut Kurnia, Revisi UU KPK tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2017. Hal ini tentu saja mencurigakan, DPR dalam hal ini harus menjelaskan alasan mengadakan seminar tentang RUU KPK tersebut.
Alasan ketiga, dimana subtansi yang ditawarkan dalam RUU KPK justru melemahkan KPK. Meskipun label Seminar adalah Urgensi Revisi UU KPK namun sudah menjadi rahasia umum bahwa niat sesungguhya DPR bukanlah untuk menguatkan KPK.
“Isu krusial dalam RUU KPK yang disodorkan ke masyarakat dinilai berniat untuk menggemboskan kewenangan luar biasa yang selama ini dimiliki KPK dan efektif memerangi korupsi,†tukasnya.
Lebih jauh Kurnia mengatakan, ada 4 poin isu besar yang tercantum di draft Revisi UU KPK dan catatan kritis terhadapnya. Pertama, mekanisme penyadapan harus melalui izin dari Dewan Pengawas. Karena menurut pihaknya, sudah menjadi rahasia umum bahwa penyadapan telah menjadi salah satu senjata ampuh KPK untuk menjerat koruptor. Hal ini terbukti dari 17 Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang sudah dilakukan KPK di tahun 2016.
“Hampir keseluruhan OTT itu diawali dengan penyadapan. Bisa dibayangkan jika mekanisme penyadapan diusik oleh DPR, maka pemberantasan korupsi akan semakin terhambat,†sebut Kurnia.
Kedua, menghilangkan kewenangan penuntutan dari KPK. Hal yang seringkali terjadi dalam penanganan perkara di Kejaksaan atau Kepolisian adalah lambatnya proses pelimpahan perkara ke penuntutan. Lain halnya di KPK, berdasarkan Pasal 52 ayat (1) UU KPK, maka paling lambat empat belas hari kerja terhitung sejak tangal diterimanya berkas perkara, penuntut umum wajib melimpahkannya ke pengadilan negeri.
“Tentu jika wewenang penuntutan dikembalikan ke kejaksaan bisa diindikasikan proses penanganan perkara korupsi akan semakin berlarut-larut,†katanya.
Ketiga, yakni pembentukkan Dewan Pengawas KPK. Dimana keberadaan Dewan Pengawas ini nantinya akan mengakibatkan degradasi independensi KPK. Sebab, jelasnya, dalam Pasal 3 UU KPK menegaskan bahwa KPK adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat indenden dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.
Praktis kewenangan yang dimiliki Dewan Pengawas ini akan mengintervensi KPK secara kelembagaan. Hal itu dikarenakan anggota Dewan Pengawas dipilih oleh Presiden dan nantinya operasi penindakan KPK seperti penyadapan dan penyitaan juga harus melalui izin Dewan Pengawas terlebih dahulu.
“Yang keempat ialah, KPK berwenang mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Dengan berlakunya Pasal 40 UU KPK yang menyatakan bahwa KPK tidak berhak mengeluarkan SP3 mempunyai implikasi yang positif, karena dengan begitu KPK menjadi sangat hati-hati untuk menaikkan status perkara ke tahap penyidikan. Terbukti sampai saat ini 100 persen perkara yang ditangani KPK terbukti di pengadilan, baik di tingkat pertama maupun di tingkat Mahkamah Agung,†jelas Kurnia lagi.
Dengan alasan-alasan tersebut, kata Kurnia, terlihat jelas bahwa rencana Revisi UU KPK kali ini hanya menguntungkan koruptor dan melemahkan KPK yang selama ini dinilai cukup efektif membersihkan praktik korupsi di Indonesia. Oleh karenya, Alumni dan Mahasiswa di Sumatera Utara meminta seluruh civitas akademika di USU untuk menolak dijadikannya kampus USU sebagai tempat sosialisasi regulasi yang berpotensi sebagai pelemahan KPK.
“Selain itu, kami juga meminta Rektor USU untuk membatalkan seminar yang bertujuan untuk melemahkan KPK. Jika kegiatan itu tetap berlangsung, maka bisa dikatakan komitmen antikorupsi sudah hilang di kampus USU. Dan kampus ini juga akan dikenang sebagai kampus pelemahan KPK,†tegasnya.
Laporan: Iam