KedaiPena.com – Alih-alih mewujudkan cita-cita para Pendiri Bangsa, yang menginginkan masyarakat cerdas dan makmur, UU Omnibus Law dinyatakan malah membuat buruh pekerja negara ini akan menjadi miskin bersama-sama.
Begawan Ekonomi Rizal Ramli secara tegas di depan para hakim Mahkamah Konstitusi menyatakan UU Omnibus Law sangat merugikan puluhan juta buruh dan keluarganya.
“Contohnya, outsourcing. UU ini memungkinkan outsourcing seumur hidup. Biasanya kan sementara, kecuali untuk industri yang pekerjaannya cocok untuk outsourcing,” kata Rizal Ramli saat sidang Judicial Review di Mahkamah Konstitusi, Kamis (27/7/2023).
Ia menyatakan dengan adanya UU Omnibus Law, para buruh tidak mendapatkan jaminan, pesangon dan dana pensiun.
“Puluhan juta buruh itu tidak mendapatkan jaminan untuk masa depan,” tegasnya.
Rizal mengemukakan bahwa outsourcing itu sebenarnya digunakan perusahaan untuk mengenali karakter dan sifat para pekerja.
“Bukan seumur hidup. Kalau seumur hidup, mohon maaf pak hakim, ini sama saja dengan perbudakan di era modern. Kalau dipelajari di sejarah, ada UU yang sangat menekan para buruh pekerja, yang penting kolonial Belanda mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Tak ada celah bagi pekerja pribumi untuk memperbaiki nasibnya. Ini lah yang dilawan oleh Muhammad Thamrin,” paparnya.
Ia menyatakan UU Omnibus Law telah mengurangi hak-hak buruh pekerja. Seperti, cuti hamil, jam kerja, besarnya pesangon dan pensiun.
“Saya sudah tanya kiri kanan. Awalnya banyak manajer perusahaan yang setuju. Belakangan mereka sadar, UU ini berlaku bagi semua pegawai di bawah direktur, bukan hanya yang kerah biru. Karena yang mewakili perusahaan hanya komisaris dan direktur. Kepala Divisi terkena UU ini. Mereka baru sadar, jika mereka pensiun, dengan posisi bergaji sekitar Rp150 juta per bulan, mereka akan mengalami kerugian antara Rp3 hingga Rp4 miliar jika pensiun. Manager yang gajinya Rp50 juta akan mengalami kerugian hampir Rp1,5 miliar. Akhirnya, banyak manajer perusahaan kerah putih, meminta ini harus dihentikan dan dibatalkan,” paparnya.
Rizal Ramli menegaskan bahwa yang menjadi sorotan utama adalah cita-cita mendirikan Republik ini adalah negara kesejahteraan.
“Para pendiri negara ini sudah memilih visi negara kesejahteraan. Agar masyarakat semakin cerdas dan makmur, sesuai dengan Pembukaan UUD 1945. Bung Hatta dan kawan-kawan yang melihat langsung depresi di Eropa 1920 hingga 1930. Mereka sadar betul, depresi itu terjadi karena sistem kapitalisme yang ugal-ugalan dan spekulatif. Mereka semua menolak, negara yang mereka perjuangkan untuk merdeka, ikut sistem ekonomi kapitalisme yang seperti itu. Itulah alasan mereka memilih model negara kesejahteraan dengan merujuk pada negara-negara Skandinavia, untuk membentuk rakyat cerdas dan makmur,” paparnya lagi.
Rujukan negara kesejahteraan tersebut yakni konsep swasta, negara dan swasta populasi, untuk memastikan sistem negara tak mengarah pada ekonomi 100 persen kapitalisme, yang hanya menguntungkan kelompok kaya.
“UU Omnibus Law ini bertentangan dengan UUD. Karena menjadikan buruh lebih miskin dan hanya alat produksi, bukan bagian pekerja yang sama-sama menikmati kemakmuran. Contoh sedehana, beberapa tahun terakhir inflasi makanan 7 persen, bisa-bisanya pemerintah hanya memperkenankan kenaikan upah maksimum hanya 1,4 persen rata-rata. Padahal di zaman Pak Karno, Pak Harto, upah buruh itu 2 hingga 3 persen di atas inflasi. Sehingga buruh juga ikut menikmati manfaat pembangunan. Ini kan menjadikan buruh menjadi miskin ramai-ramai,” kata Rizal Ramli.
Padahal, lanjutnya, upah buruh itu umumnya hanya 15 persen dari total cost perusahaan. Sementara biaya ‘bancakan’ perusahaan, rata-rata mencapai 30 persen.
“Seharusnya, daripada ‘ngobras’ upah buruh, pemerintah harusnya membuat pemerintahan yang lebih bersih. Supaya biaya going business yang 30 persen itu bisa berkurang. Di negara lain biaya going business ini hanya 3 persen dari total cost business. Ini alasan mengapa Vietnam, Thailand dan Malaysia itu sangat menarik,” pungkasnya.
Laporan: Ranny Supusepa