KedaiPena.Com – Aliansi Cagar Alam Jawa Barat merespon keterangan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terkait dengan penurunan status Cagar Alam (CA) Kamojang dan Papandayan.
Dalam penjelasannya, KLHK membagi menjadi 5 poin alasan penurunan status cagar alam yang dilakukan demi kepentingan masyarakat. 5 poin tersebut menggambarkan secara gamblang mulai dari latar belakang sejarah CA hingga alasan rekomendasi.
Aliansi Cagar Alam Jawa Barat menyoroti sejumlah hal semisal tidak dijelaskannya oleh KLHK informasi terkait penggarapan lahan yang melibatkan luasan 449,17 Ha. Hal ini tidak didukung dengan informasi lokasi, kurun waktu, subjek, dan latarbelakang pelanggaran.
Poin ini hanya menunjukkan ketidakberdayaan KLHK dalam menangani persoalan. Hal tersebut lantaran dari kegiatan kampanye dan sosialisasi selama 5 tahun terakhir ini, tim menemukan data terkait tipologi pelanggaran di dalam kawasan CA.
Pelanggaran tersebut termasuk hal yang melibatkan penggarap, baik luasan, lokasi, kurun waktu, subjek, hingga latarbelakang penggarapan.
“Tipologi pelanggaran di dalam kawasan CA Kamojang dilakukan oleh subjek dengan latarbelakang rekreasi seperti untuk motor trail, perburuan, hingga komersialisasi kawasan, eksploitasi pembukaan kawasan untuk sumur-sumur panas bumi dan ekonomi untuk mata pencaharian,” ujar Koordinator Aliansi Sadar Jawa Barat, Kidung Saujana dalam keterangan kepada redaksi, Selasa (12/2/2019)
Tidak hanya itu, kata dia, subjek (asal) penggarap di setiap wilayah, memiliki variasi yang berbeda. Tipe pertama di Desa Padaawas, terjadi bukaan lahan di dalam kawasan CA seluar 28 Ha, bukaan lahan ini dilakukan bukan oleh masyarakat terdekat, tetapi justru oleh masyarakat yang jauh dari kawasan.
“Modus bukaan lahan dilakukan dengan cara klaim kawasan sebagai “kawasan Perhutani”, kemudian penggarap mendapat “izin” dari beberapa tokoh masyarakat yang dianggap memiliki kewenangan terhadap kawasan tersebut,” beber dia.
Sedangkan untuk tipe kedua berada di gunung Rakutak, yang dimana masyarakat penggarap merupakan masyarakat sekitar kawasan dan relatif memanfaatkan dengan luasan yang minim.
“Itu pun terjadi karena ketidakjelasan batas kawasan. Dari hasil sosialisasi pada Agustus 2018, masyarakat Pereng sangat mendukung sosialisasi CA yang mereka pahami sebagai “kawasan PA”. Bahkan di antara masyarakat sudah terjadi proses saling mengingatkan untuk tidak masuk dan berburu di kawasan CA,” tutur dia.
Untuk tipe yang ketiga, lanjut dia, berada di kawasan Desa Cihawuk, di mana di lokasi ini sedang berlangsung kegiatan restorasi oleh BBKSDA Jabar. Kegiatan inu menunjukan bahwa sebetulnya restorasi di kawasan CA sudah dan bisa dilakukan di kawasan CA tanpa harus menurunkan status kawasan.
“Tipe keempat terjadi di kampung Lodaya Kolot kaki Gunung Kendeng hingga Cibutarua CA Papandayan, di mana penggarap lahan dilakukan oleh tokoh masyarakat di luar masyarakat terdekat kawasan. Masyarakat terdekat dengan kawasan sendiri merupakan masyarakat perkebunan teh,” papar dia.
“Luasan deforestasi di wilayah ini juga sangat mengkhawatirkan, peningkatan bukaan lahan terjadi sejak tahun 2016 hingga 2018 dan tidak ada tindakan signifikan dari BBKSDA,” sambung dia.
Laporan: Muhammad Hafidh