BULAN Juni adalah bulan Jakarta. Saya mendarat di Jakarta akhir tahun 1973 setamat SMAN 1 di Mataram NTB. Sejak itu segala suka duka saya jalani di Jakarta.
Saya bangga jadi orang Jakarta. Saya bangga karena waktu itu Jakarta sedang dipimpin oleh Ali Sadikin, seorang Gubernur yang gagah, tegas, pemberani dan banyak membuat terobosan. Mengubah Jakarta dari ‘The Big Village’ menuju kota yang modern.
Setiap bulan Juni, sebagai anak muda waktu itu, saya ikut menikmati kemeriahan Jakarta pada ulang tahunnya di Jalan Thamrin, jalan yang penuh kenangan bersama gubernur kebanggaan kami.
Sekarang bulan Juni. Bang Ali sudah tidak ada. Kami yang muda kala itu sudah berangkat tua.
Tapi saya agak risau, kok di Jakarta tak ada satu pun jalan atau tempat yang mengabadikan nama Ali Sadikin. Seandainya bisa, saya akan beri nama Taman Monas sebagai Taman Ali Sadikin, sehingga lengkapnya Taman Monumen Nasional Ali Sadikin.
Saya tidak tahu apakah pas atau tidak. Saya hanya risau kalau nama Bang Ali dilupakan begitu saja.
Di masa akhir karirnya Bang Ali masih sempat menjadi tokoh pengeritik utama rezim Orde Baru Soeharto dengan aktif di Petisi 50.
Banyak hal yang dikritisi, soal peristiwa Tanjung Priok, monopoli cengkeh keluarga Cendana, perkara Bank Duta, sumbangan bank BUMN ke yayasan-yayasan yang dipimpin Ibu Tien Soeharto, injeksi bantuan untuk PT Indocement milik Liem Sioe Liong sebesar USD 320 juta dari kas negara hingga masalah suksesi, masalah hukum dan politik lainnya.
Ketika ditanya apa motifnya kritis terhadap Orde Baru maka jawabnya, ‘yang saya tuju bukanlah ketenaran, apalagi sih yang mau dikejar di hari senja kehidupan saya ini? Ikut perang kemerdekaan sudah, ikut menegakkan kesatuan dan persatuan hadapi pemberontakan sudah, jadi menko sudah, jadi gubernur sudah, jadi kakek bercucu enam sudah”.
“Hidup saya tidak menderita. Bagaimana dengan rakyat? Sebagai tanda terima kasih saya kepada kaum pergerakan nasional, pemimpin-pemimpin perang kemrdekaan dan masyarakat yang membesarkan saya, pilihan saya adalah terus menjalankan kewajiban dan hak saya untuk menegakkan cita cita perjuangan kemerdekaan sampai ajal tiba”.
Bang Ali membela rakyat saat berkuasa, hingga pensiun dan akhir hayatnya tetap berjuang bersama rakyat. Sebuah teladan untuk pemimpin masa kini.
Oleh M. Hatta Taliwang, Aktivis, eks anggota DPR