Artikel ini ditulis oleh Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies).
Wacana penundaan Pemilu 2024 mencuat lagi. Sekarang malah didukung oleh tiga partai politik (parpol). PKB, PAN dan Golkar. Meskipun mereka paham penundaan Pemilu adalah pelanggaran Konstitusi, atau tepatnya ‘kudeta konstitusi’, ‘constitutional coup’. Yaitu, mengubah konstitusi untuk melanggengkan kekuasaan, yang sebelumnya dibatasi oleh konstitusi.
“A Constitutional coup is when power is seized within the framework of a country’s constitution. The actors are already members of the government and will alter their government’s constitution to legally seize power. Examples include: extending an incumbents mandate through the removal of term or age limits, changing electoral rules to hinder opposing candidates, and postponing elections indefinitely.”
Karena Undang-Undang Dasar secara jelas mengatur Pemilu dilaksanakan setiap lima tahun, dan Pemilu yang akan datang harus diselenggarakan pada 2024.
Alasan wacana penundaan beragam. Tulisan ini hanya menyoroti dua alasan. Yaitu alasan ekonomi termasuk keuangan negara, dan alasan popularitas Jokowi yang katanya mencapai 73,9 persen. Kedua hal ini dijadikan alasan utama beberapa parpol untuk mendukung usulan yang bisa mengarah kepada ‘kudeta konstitusi’ seperti dimaksud di atas.
Menurut Lembaga Survei, popularitas Jokowi mencapai angka tertinggi sejak 2015. Karena itu beberapa Parpol mengusulkan masa jabatan Jokowi patut diperpanjang. Alasan ini (popularitas) dan konsekuensinya (diperpanjang) jelas merupakan bagian awal atau pintu masuk untuk ‘kudeta konstitusi’.
Pertama, popularitas presiden yang tinggi tidak bisa menjadi alasan untuk melakukan ‘kudeta konstitusi’, dengan menunda pemilu atau memperpanjang masa jabatan presiden, misalnya, menjadi tiga periode. Kalau ini terjadi, maka lima tahun mendatang tingkat popularitas presiden bisa naik lagi, dan masa jabatan presiden bisa diperpanjang lagi, dan seterusnya.
Sehingga Bangsa ini akan terjebak dalam pusaran ‘kudeta konstitusi’ yang tidak berujung pangkal, dan akan menghancurkan masa depan bangsa Indonesia.
Di samping itu, survei popularitas presiden ini mengundang banyak pertanyaan dan keraguan. Untuk itu penulis sudah menyampaikan dalam sebuah tulisan sebelumnya. Namun, perlu ditambahkan, bahwa kondisi ekonomi riil belakangan ini sepertinya juga sulit memberi pembenaran atas survei tersebut.
Karena, pertumbuhan ekonomi pemerintahan Jokowi merupakan yang terendah dibandingkan pemerintahan SBY periode pertama maupun kedua. Pertumbuhan ekonomi rata-rata periode 2014-2019 hanya 5,03 persen par tahun, jauh lebih rendah dari periode 2004-2009 yang mencapai 5,63 persen dan periode 2009-2014 sebesar 5,80 persen. Kalau memperhitungkan tahun 2020 dan 2021, kinerja ekonomi semakin buruk.
Kemudian, kinerja utang pemerintah juga memburuk. Utang pemerintah periode 2004-2009 naik hanya Rp292,7 triliun (22,6 persen), periode 2009-2014 naik Rp1.018 triliun (64 persen), dan periode 2014-2019 naik Rp 2,176 triliun (83,4 persen). Dalam dua tahun terakhir, 2020 dan 2021, utang pemerintah sudah naik Rp2.124 triliun (44,4 persen).
Dari kedua faktor tersebut sulit dipahami popularitas Jokowi bisa naik dan tertinggi sejak 2015, di mana ketika itu, di masa awal pemerintahan, rakyat sedang berbulan madu dan sangat antusias dengan presiden baru yang memberi janji dan harapan besar.
Kedua, alasan bahwa pemilu secara umum, atau Pemilu 2024 secara khusus, akan menghambat pertumbuhan dan pemulihan ekonomi, karena itu harus ditunda, merupakan cara berpikir menyesatkan, dan salah fatal. Karena, taat hukum dan taat konstitusi adalah satu-satunya pegangan masyarakat dalam menjalankan kehidupan berbangsa, lebih dari segalanya, lebih dari sekedar pertumbuhan ekonomi.
Karena, pemilu bahkan diperkirakan akan meningkatkan aktivitas ekonomi masyarakat, dan memicu pertumbuhan ekonomi. Karena anggaran pemilu akan menjadi stimulus ekonomi. Jadi, ketakutan Pemilu akan menghambat ekonomi tidak beralasan, dan di luar akal sehat.
Alasan lain yang cukup masuk akal adalah kondisi keuangan negara yang diperkirakan akan semakin sulit pada 2024. Tetapi, penundaan Pemilu dari 2024 menjadi, misalnya, 2027 tidak memecahkan masalah. Karena tidak ada jaminan, keuangan negara pada 2027 akan membaik. Bisa saja semakin memburuk. Kalau itu terjadi, apakah Pemilu akan ditunda lagi?
Perlu diingat, Pemilu 1999 dapat dilaksanakan dengan baik, diikuti 48 partai politik, meskipun kondisi keuangan negara ketika itu sedang terpuruk sangat dalam akibat krisis moneter 1997-1998. Yang membuat pemerintah harus mohon pinjaman kepada IMF dengan menyerahkan kedaulatan ekonominya. Pengalaman Pemilu 1999 ini adalah sebuah bukti dan preseden yang mematahkan semua alasan untuk penundaan Pemilu 2024.
Seandainya benar kondisi keuangan negara menjadi bahan pertimbangan yang sangat dominan untuk menunda pemilu, dan keuangan negara 2024 diperkirakan akan semakin sulit, karena defisit anggaran akan kembali menjadi maksimal 3 persen dari PDB, maka solusinya adalah memajukan Pemilu 2024 menjadi 2022.
Karena, defisit anggaran tahun 2022 masih dibolehkan tidak terbatas, dan Bank Indonesia masih dibolehkan membeli surat utang negara untuk pembiayaan defisit anggaran tersebut. Sehingga keuangan negara 2022 tidak menjadi masalah sama sekali untuk membiayai pelaksanaan pemilu.
Jangan lewatkan kesempatan ini. Karena tahun 2023 keuangan negara akan berjalan normal kembali. Semoga hal ini bisa menjadi pertimbangan bagi para Ketum Parpol demi menyelamatkan Pemilu 2024, dan menyelamatkan Bangsa Indonesia.
[***]