KONTRAK Freeport II yang diteken pada tahun 1991 cacat hukum. Kontrak itu hasil menyogok Menteri Pertambangan (Ginanjar Kartasasmita) tahun 1991.
Karena kontrak itu cacat hukum, hasil penyogokan, tidak ada lagi “sanctity of contract’ (kesucian kontrak). Tidak ada kewajiban untuk menyetujui perpanjangan kontrak Freeoort 2 x10 tahun sampai 2041.
Belum lagi Freefort banyak melakukan wan prestasi: kerusakan lingkungan, jadwal divestasi dan pembangunan smelter yang terus diundur, serta ‘track record’ sebagai penyogok pejabat Indonesia.
Pasal 31-2 KK berbunyi, “Subject to the provisions herein contained, this Agreement shall have an initial term of 30 years from the date of the signing of this agreement: provided that the company shall be entitled to apply for two successive ten years extensions of such term, subject to Government approval. The Government will not unreasonably withhold or delay such approval. Such application by the company may be made at any time during the term of this agreement, including any prior extension.”
Freeport memang berhak mengajukan perpanjangan kontrak (‘option: entitle to apply’), tapi tidak otomatis ‘subject to government approval’ (tergantung pemerintah mau terima atau ditolak). Sekarang kok dipelintir jadi wajib diperpanjang?
Pemerintah RI punya alasan yang sangat “reasonable” untuk tidak memperpanjang kontrak Freeport: wanprestasi PTFI dalam jadwal divestasi, ‘smelter’, merusak lingkungan, track record sogok pejabat. Ingat kasus penyogokan Lookheed ke PM Jepang Tanaka 1975-76. Lookheed dihukum, PM Tanaka jatuh.
Memang ada klausal: “The government will not unrreasonably withhold or delay such approval.” Tidak akan (‘will not, bukan can not!’) menunda secara tidak ‘reasonable’. Persoalannya, Pemerintah RI memiliki sejumlah alasan yang sangat “reasonable” karena pelanggaran-pelanggaran kontrak dan wanprestasi dari Freeport.
Karena kelemahan-kelemahan Freeport dan ketakutan masuk penjara karena UU Korupsi AS, atas tekanan RR, CEO Freeport tahun 2001 bersedia bayar ganti rugi ke RI $5M, naikkan royalties, proses limbah, ‘divestasi’ dan smelter.
Sayangnya Pemerintah Gus Dur jatuh tiga bulan kemudian, karena konflik politik di dalam negeri. Kesepakatan itu tidak sempat dilaksanakan, dan diteruskan oleh pemerintah-pemerintah berikutnya. Itu adalah contoh ternyata Indonesia bisa menekan Freeport, bukan malah bayar $3,8M .
Pelajaran untuk kasus Freeport, pada saat saya menjadi Menko Ekuin 2000-2001, baru mengetahui bahwa hampir semua (27) kontrak-kontrak Pembelian Listrik Swasta (PPA) sebelumnya, ternyata KKN, dimark-up sampai $7-12 cent per KW.
Padahal di seluruh dunia hanya $3 cents. Konco-konco yang berkuasa sebelumnya mendapat saham kosong yang ditukar drngan tarif yang sangat mahal, yang merugikan rakyat Indonesia. Beban PLN naik besar sekali, menjadi $85M, PLN nyaris bankrut. Pemerintahan Habibie, via Dirut PLN Satria ajukan salah satu kontraktor PPA ke pengadilan abitrase di luar negeri. Ternyata kalah telak.
Menurut Stiglitz, memang dalam berbagai kasus arbitrase, negara berkembang 99,9% kalah. Itulah mengapa pemenang Nobel itu, Prof. Joseph Stiglitz menemui Rizal Ramli (RR) sebelum menemui Presiden SBY untuk membujuk agar Indonesia tidak memasukkan klausal tentang arbitrase dalam RUU Investasi. Sayang, tidak di-follow up’.
Memahami itu, RR tidak mau menggunakan jalur arbitrase, tetapi mengundang kawannya, redaktur Wall Street Journal, koran bisnis paling berpengaruh di dunia. Untuk menjelaskan KKN perusahaan-perusahaan multi nasional, yang sok-sok promosi ‘good corporate governance’, tetapi pat-gulipat dengan kroni-kroni kekuasaan di Indonesia.
Patgulipat itu dimuat di ‘front pages’ WSJ selama tiga hari ber-turut. Akibatnya, takut nama dan saham perusahaannya jatuh, puluhan bos-bos perusahaan asing yang punya kontrak dengan PLN terbang ke Jakarta ingin melakukan renegosiasi dengan Menko Ekuin RR.
Hasilnya luar biasa beban utang PLN akhirnya berhasil dikurangi $50M, dari $85M menjadi hanya $35M. Belum pernah terjadi dalam sejarah Indonesia, pengurangan utang sebesar itu. Kuncinya, cara-cara ‘out of the box’ Rizal Ramli akhirnya menguntungkan rakyat Indonesia. Itu yang harusnya jadi pelajaran untuk kasus Freeport.
Oleh DR. Rizal Ramli, Eks Menko Ekuin