KedaiPena.Com – Kontestasi politik pilkada memicu munculnya politik identitas. Kemunculan kembali politik identitas mengingatkan kembali pada Indonesia zaman pergerakan, dimana politik identitas justru menjadi embrio penting hadirnya nasionalisme Indonesia.
Sumpah pemuda 28 Oktober 1928 adalah momentum penting nasionalisme Indonesia yang tidak menihilkan politik Indonesia. Menjadi Indonesia tidak harus menghapuskan keragaman identitas etnik Indonesia.
Itu yang kemudian disebut Bhineka Tunggal Ika, semboyan bangsa Indonesia. Di antara politik identitas yang fenomenal adalah Perkoempoelan Arab Indonesia (PAI) yang terbentuk pada era kolonialisme yang represif ketika rezim Hindia Belanda mengasingkan dan memenjara tokoh tokoh sentral pergerakan, seperti Soekarno dan Moh. Hatta.
Pada saat para pemimpin utama pergerakan nasional diasingkan dan dipenjara, Perkoempoelan Arab Indonesia (PAI) menyatakan sumpah yang berisi tiga hal penting yang sangat bersejarah.
Pertama, tanah air peranakan (keturunan) Arab adalah Indonesia. Kedua, peranakan Arab harus meninggalkan kehidupan menyendiri. Ketiga, peranakan Arab harus memenuhi kewajibannya terhadap tanah air dan bangsa Indonesia. Sumpah tersebut kemudian dikenal dengan nama Sumpah Pemuda Indonesia Keturunan Arab.
Menurut Nabiel A.Karim Hayaze, sumpah tersebut yang dibacakan pada 4 Oktober 1934 adalah langkah gila keturunan Arab di saat rezim kolonial Hindia Belanda sedang represif-represifnya.
Hal itu disampaikan Nabiel A.Karim Hayaze dalam Diskusi buku tentang “Kumpulan Tulisan dan Pemikiran Hoesin Bafagieh (tokoh PAI dan Nasionalis keturunan Arab)†di Laboratorium Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta (UNJ) pada 10 November 2017.
Hadir sebagai pembedah buku yang disusun Nabiel A. Karim Hayaze tersebut adalah Alwi Alatas (Sejarawan), Ubedilah Badrun (Pengamat Sosial Politik UNJ) dan Yuanita Apriliandini (Sosiolog Etnisitas UNJ).
Menurut Ubedilah Badrun, Sumpah Pemuda Indonesia Keturunan Arab tersebut mengandung tiga makna penting, yaitu deklarasi nasionalisme Indonesia keturunan Arab, deklarasi untuk berbaur dari etnis yang hidup ekslusif ke hidup bermasyarakat yang inklusif berbaur bersama masyarakat, dan deklarasi tanggungjawab kewargaan sebagai bangsa Indonesia.
Menurut pengamat sosial politik UNJ ini, sumpah tersebut tidaklah mudah bagi keturunan Arab sebab posisi sosial keturunan Arab tersebut pada masa itu mereka secara internal mengalami konflik antara Arab totok (wullaiti) yang masih mengakui tanah Arab sebagai tanah airnya dengan Arab peranakan (muwallad) yang mengakui Indonesia sebagai tanah airnya.
Sementara menurut sejarahwan Alwi Alatas problem etnis Arab secara sosial saat itu juga menghadapi masalah serius karena Belanda secara sistematis melalui regulasinya ingin memisahkan keturunan Arab dengan Indonesia. Belanda pada waktu itu memposisikan keturunan Arab sebagai golongan timur asing yang dibedakan dengan pribumi.
Perdebatan nasionalisme Indonesia keturunan Arab ini menemukan ruh nya ketika penelusuran sejarah pemikiran yang melatari munculnya nasionalisme Indonesia keturuman Arab tersebut ditemukan pada tokoh Hoesin Bafagieh. Pemikir, pejuang yang gigih menebarkan secara luas tentang urgensi nasionalisme Indonesia keturunan Arab yang ditulisnya secara konsisten di majalah ‘Aliran Baroe’ yang terbit meluas pada era 1930an sampai 1940-an hingga pembubaran partai politik oleh Jepang dilakukan. Hoesin Bafagieh tidak hanya seorang nasionalis tulen tetapi juga pemikir radikal pada soal-soal yang membelenggu kebebasan dan kemerdekaan.
Menurut Sosiolog Etnisitas UNJ Yuanita Apriliandini, Hoesin Bafagieh berhasil mendobrak pemikiran etnis Arab totok yang cenderung kaku dalam memahami teks keagamaan, bahkan Hoesin Bafagieh mampu mendobrak kungkungan etnisitas Arab menjadi nasionalisme Indonesia.
Laporan: Muhammad Ibnu Abbas