KedaiPena.Com – Terkait penahanan oleh Polrestabes Medan terhadap tiga orang aktifis mahasiswa yang menggelar aksi demonstrasi peringatan Hardiknas awal Mei lalu, dinilai semakin aneh. Pasalnya setelah menggeledah sekretariat organisasi mahasiswa, baru diketahui ternyata akibat keteledoran aparat sendiri.
Sejumlah alumni Forum Mahasiswa Anti Penindasan (Formadas) Medan mengutuk sikap brutal aparat kepolisian yang menggeledah sekretariat organisasinya dan sekretariat Gerakan Mahasiswa Pro Demokrasi (Gema Prodem) di dua lokasi berbeda. Sebab mereka menilai bahwa kehilangan alat kelengkapan tugas dialami polisi, merupakan kebodohan aparat itu sendiri.
“Kita mendengar pernyataan Kapolrestabes Medan soal kehilangan borgol. Ikan aneh, karena kebodohan petugasnya, kenapa sekretariat organisasi mahasiswa diacak-acak? Harusnya barang vital seperti itu bisa dijaga baik-baik, mereka harusnya lebih tahu situasi saat demonstrasi itu seperti apa. Jadi kebodohan aparat jangan disasarkan ke mahasiswa,” ujar alumni Formadas Juson Jusri Simbolon melalui pesan singkatnya, Kamis (11/5).
Senada dengan itu, mantan Ketua Formadas Medan Dony Dhevis Sitorus menyebutkan penahanan kepada dua mahasiswa ITM dan satu mahasiswa USU oleh Polrestabes Medan sebagai bukti semakin mundurnya kinerja institusi polri khususnya di Kota Medan. Karena sebelum mereka mendengar pernyataan tentang berita kehilangan borgol, isu perampasan pistol sempat beredar dan menjadi alasan belum dibebaskannya tiga aktivis.
“Dari awal kita sudah menilai mereka (polisi) mulai kalap dan brutal. Karena isu miring terus dikembangkan. Sementara kronologisnya, mahasiswa itu berada di dalam kampus (USU) saat diserang, jadi mereka tidak melempar sampai ada pihak dari luar yang memulai,” katanya.
Sementara Darmansyah Pulungan yang juga mantan Ketua Formadas Medan meminta agar kepolisian melepaskan tiga aktivis yang ditahan. Sebab penggeledahan sekretariat yang menurutnya keterlaluan itu, juga tidak menemukan barang yang dicari. Di sisi lain, katanya, wacana yang dimunculkan adalah mencari pelaku pemukulan polisi.
“Makanya kami menilai ada upaya kriminalisasi aksi mahasiswa oleh polisi,” sebut Darmansyah.
Selain itu, mantan aktivis mahasiswa Elfenda Ananda menyebutkan bahwa keteledoran aparat yang bisa kehilangan borgol harusnya dievaluasi secara internal id kepolisian. Tindakan menggeledah sekretariat organisasi mahasiswa menurutnya patut dipertanyakan terutama soal profesionalisme polisi menangani persoalan.
“Saya kira soal kehilangan borgol, silahkan saja mereka selesaikan. Tetapi tidak perlu mengacak-acak rumah orang (sekretariat). Harusnya borgol itu melekat dan dijaga petugasnya,” kata Elfenda.
Sebelumnya Kapolrestabes Medan Kombes Sandi Nugroho menegaskan bahwa penggeledahan di sejumlah kantor organisasi mahasiswa yang terlibat dalam demo peringatan Hardiknas di simpang Kampus USU pada 2 Mei yang berakhir rusuh dilakukan dalam rangka pengungkapan kasus.
Disebutkannya demo yang berakhir rusuh itu, seorang petugas polisi dipukuli dan tasnya hilang. Namun Sandi menegaskan tidak ada senjata api polisi yang hilang. “Jadi penggeledahan itu untuk mencari barang bukti yang dirampas. Kasus ini masih akan kami kembangkan,” ungkap Sandi.
Sandi mengakui, saat aksi Hardiknas lalu, seorang petugas polisi yang ada di lokasi ditarik lalu dipukuli dengan menggunakan batu dan benda tumpul.
“Saat itu, petugas yang dianiaya kehilangan tas berisikan borgol,” katanya.
Ia membantah dalam tas juga ada senjata api petugas yang turut hilang.
“Tidak ada senjata api yang hilang,” singkatnya.
Menurutnya, tindakan tegas kepolisian pasca demo tersebut adalah penegakan hukum karena kerusuhan tersebut mengganggu ketertiban umum.
Laporan: Dom