KedaiPena.Com – Kabinet ekonomi Joko Widodo memang payah. Tidak ada terobosan yang mumpuni untuk menggenjot perekonomian nasional. Yang ada, Menkeu Sri Mulyani malah mau menambah utang lagi.
Aktivis 98 Dedi Gunawan mengatakan, sebenarnya banyak jalan untuk keluar dari jebakan utang.
“Rizal Ramli pernah renegosiasi utang dengan Jerman dapat ia tangani tanpa harus menumpuk lebih banyak utang ratusan juta dolar AS utang Indonesia. Jerman yang sering kritik lingkungan Indoneaka dikasih konsesi hutan konservasi,” kata dia di Jakarta, Selasa (4/8/2020).
Selain itu, pada 2001, Rizal Ramli juga mengatur “debt swap” dengan Kuwait. Utang mahal ditukar dengan utang bunga rendah. Saking gembiranya, karena utang yang sudah lama ‘mangkrak’ dibayar, Kuwait lalu membangun gratis ‘flyover‘ Pasoepati di Bandung.
“Kalau Sri Mulyani, lebih baik jabatannya jangan Menkeu (Menteri Keuangan). Seperti banyak dibilang orang, harusnya Sri Mulyani jabatannya Menteri Khusus Utang alias Menkusut,” tegas dia.
Sementara itu, Ketua Majelis Prodem Iwan Sumule mengecam tindakan ini. Kata dia, titel menteri keuangan terbalik di dunia tidak pantas disematkan kepada Sri Mulyani.
“Dari setiap rezim, Sri Mulyani tahunya cuma utang. Apa karena setiap utang negara dapat “fee”, apalagi kalau dengan bunga tinggi,” kecewa dia, ditulis Selasa (4/8/2020).
Diketahui, Pemerintah melalui Menkeu, Sri Mulyani telah menarik pinjaman program dari lembaga multilateral senilai USD1,8 miliar atau sekitar Rp26,1 triliun (kurs Rp 14.500 per USD) pada semester I-2020.
Total jumlah pinjaman tersebut berasal dari Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia (ADB), Kreditanstalt für Wiederaufbau (KfW), Agence Francaise de Developpement (AFD), dan dari Japan International Cooperation Agency (JICA).
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan pemerintah masih perlu menerbitkan utang sebanyak Rp697,3 triliun lagi untuk memenuhi seluruh kebutuhan pembiayaan selama tahun 2020. Jumlah ini berlaku mulai Mei 2020 sampai Desember 2020.
“Sisa SBN penerbitan yang perlu dilakukan adalah Rp697,3 triliun. Ini akan melalui lelang pasar domestik dan private placement, penerbitan SBN valas,” ucap Sri Mulyani dalam teleconference bersama wartawan, Jumat (8/5/2020).
Sri Mulyani menyatakan kebutuhan dana ini dihitung dari total kebutuhan pembiayaan yang mencapai Rp1.439,8 triliun. Sekitar Rp1.334 triliun di antaranya merupakan porsi yang harus dipenuhi dari SBN.
Setelah dihitung-hitung, per 30 April 2020 lalu pemerintah berhasil melelang dan menerbitkan SBN sebanyak Rp376,5 triliun di pasar. Nilai ini turut mengurangi target Rp1.334 triliun itu.
Selanjutnya pemerintah memutuskan untuk tidak membuat penerbitan utang khusus untuk program pemulihan ekonomi nasional (PEN) senilai Rp150 triliun. Pemerintah pun mengeluarkan Rp150 triliun ini dari kebutuhan SBN sampai akhir tahun.
Terakhir, perhitungan pengurangan SBN juga dilakukan dengan mempertimbangkan penurunan Giro Wajib Minimum (GWM) perbankan senilai Rp110,2 triliun. Menurut BI penurunan GWM ini diyakini bakal menambah likuiditas di pasar SBN.
Dari realisasi April 2020 dan perhitungan itu, diperoleh angka Rp697,3 triliun.
Sri Mulyani menambahkan untuk mencapai target sebesar ini, maka setidaknya pemerintah perlu melakukan lelang SBN Rp35-45 triliun per 2 minggunya.
Rinciannya SUN sebanyak Rp24-30 triliun dan SBSN Rp11-15 triliun. Nilai ini katanya cukup menantang karena targetnya jauh melampaui rata-rata lelang 2018 dan 2019 padahal di saat ini kondisi pasar sedang dipenuhi ketidakpastian.
Pada 2018 saja rata-rata lelang SUN hanya Rp15,8 triliun dan SBSN Rp5,1 triliun. Lalu rata-rata lelang SUN 2019 hanya Rp21,9 triliun dan SBSN hanya Rp7,8 triliun.
“Karena itu ada MOU kemenkeu dan BI dalam rangka paritipasi BI di pasar perdana,” ucap Sri Mulyani.
Laporan: Muhammad Lutfi