SEBAGAI bagian dari tuntutan reformasi, proses demokratisasi yang menggeliat bangkit seiring turunnya Soeharto dari tampuk kekuasaannya selama 32 tahun yang dijalankan secara despotik dengan represif dan oppressive, ternyata justru melahirkan pseudo democracy yang liberalistis dimana praktik penyelenggaraan negara diwarnai oleh perselingkuhan antara oligarki politik, mobokrasi, dan plutokrasi sehingga kemudian menghidupkan sistem kleptocracy, suatu pemerintahan yang dikendalikan oleh para pemimpin korup (kleptokrat).
Pseudo democracy dimana demokrasi telah bermutasi menjadi demonkrasi (demoncracy). Demokrasi telah berubah sifat dan perilakunya menjadi demonik yang serba penuh dengan tipu daya kemesuman, kenistaan, cemar, kejam, bengis, dan keji.
Menjadi wajar jika di tengah praktik penyelenggaraan negara seperti itulah lahir gelombang unjuk rasa besar-besaran secara masif seperti yang tengah berlangsung hampir sepekan belakangan ini. Unjuk rasa yang terjadi sungguh menguji kohesifitas sosial kita sebagai sebuah bangsa.
Masifnya gelombang unjuk rasa yang berlangsung mengakibatkan jatuhnya koban jiwa di kedua belah pihak, baik dari berbagai kelompok mahasiswa sebagai pengunjuk rasa maupun juga dari aparat yang menjalankan fungsi keamanan negara demi terciptanya ketertiban masyarakat.
Diawali dengan aksi mahasiswa yang menuntut penundaan pengesahan RUU KUHP, Revisi UU Ketenagakerjaan dan Revisi UU KPK, dll yang diakhiri dengan kericuhan, kemudian diikuti aksi yang dilakukan oleh Pelajar dan Masyarakat.
Bertambahnya eksponen yang ikut turun ke jalan membuat eskalasi ketegangan semakin memanas antara peserta aksi dan aparat penegak hukum yang bertugas mengamankan jalannya aksi.
Sebagai gerakan moral, unjuk rasa yang dilakukan oleh mahasiswa dan pelajar berkembang meluas tidak hanya di Pulau Jawa tetapi juga di belahan Indonesia lain seperti di Riau, Sumatra Barat, Palembang, Kalimantan, dan Sulawesi.
Sayangnya, rentetan unjuk rasa menelan korban jiwa dengan tewasnya dua Mahasiswa Universitas Halu Oleo di Kendari Sulawesi Tenggara.
Gelombang protes ini selayaknya dimaknai sebagai tengara betapa mahasiswa dan pelajar terbukti memiliki kepekaan dan kepedulian yang tinggi terhadap jalannya proses peri kehidupan bertanah air, berbangsa dan bernegara.
Hanya saja, perlu dipastikan bahwa prosesi unjuk rasa memang dilakukan sesuai dengan aturan hukum perundang-undangan dan kaidah-kaidah demokrasi.
Namun demikian, berdasarkan pengalaman sejarah, tak bisa dipungkiri bahwa di dalam gelombang protes dan unjuk rasa yang berjalan secara masif selalu saja muncul hadirnya para penunggang bebas (free rider) dari berbagai kelompok kepentingan yang ingin mengail di air keruh untuk mencuri kesempatan dengan memperalat jalannya unjuk rasa yang berlangsung.
Kelompok-kelompok kepentingan yang dimaksud bisa bersifat lokal, nasional bahkan internasional dengan framing berdasarkan suku, agama, ras dan antar golongan (SARA). Untuk memastikan agar situasi tersebut di atas bisa terhindarkan, salah satu langkah yang perlu untuk segera dilakukan adalah dengan merespons segera dan saksama apa yang menjadi tuntutan pengunjuk rasa.
Utamanya yang berkaitan dengan rangkaian penyusunan beberapa peraturan perundang-undangan yang dianggap bermasalah dan menyimpang dari rumusan normanya. Sehingga diharapkan kekecewaan publik tidak berubah menjadi krisis ketidakpercayaan (social distrust) dan pembangkangan sosial (social disobedience) yang melahirkan krisis kepemimpinan nasional akibat adanya ketidakpuasan publik terhadap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Mencermati situasi tersebut di atas, sebagai anak bangsa, kami Eksponen Forum Komunikasi Senat Mahasiswa se-Jakarta (FKSMJ) ’98 merasa terpanggil untuk menyikapi situasi yang tengah berkembang saat ini dalam rangka upaya penyelamatan terhadap proses peri kehidupan bertanah air, berbangsa dan bernegara.
1. Kami eksponen Forum Komunikasi Senat Mahasiswa se-Jakarta (FKSMJ) ’98 dengan ini menyatakan permohonan maaf kepada Bangsa Indonesia atas utang sejarah yang belum kami tuntaskan untuk bisa membawa Indonesia menjadi lebih baik keluar dari cengkeraman Orde Baru.
2. Kami eksponen Forum Komunikasi Senat Mahasiswa se-Jakarta (FKSMJ) ’98 dengan ini meminta kepada pihak Polri untuk menghentikan dan menyudahi upaya penangkapan terhadap aktivis-aktivis pro rakyat serta penggunaan cara-cara represif dan oppressive dalam merespons unjuk rasa, sekaligus juga melepaskan mahasiswa-mahasiswa yang saat ini sedang dalam status penahanan.
3. Kami eksponen Forum Komunikasi Senat Mahasiswa se-Jakarta (FKSMJ) ’98 dengan ini meminta kepada segenap komponen bangsa untuk bersama-sama menahan diri serta duduk bersama dengan suasana penuh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan permufakatan untuk mendapatkan resolusi atas situasi yang tengah berlangsung.
4. Kami eksponen Forum Komunikasi Senat Mahasiswa se-Jakarta (FKSMJ) ’98 dengan ini meminta elite politik, khususnya para pembantu Presiden untuk memperbaiki komunikasi politik dalam merespons situasi yang berlangsung, sehingga tidak memperkeruh situasi serta tidak menimbulkan blunder yang makin memperbesar kekecewaan publik dalam skala yang lebih luas.
5. Kami eksponen Forum Komunikasi Senat Mahasiswa se-Jakarta (FKSMJ) ’98 mengajak segenap eksponen kebangsaan prodemokrasi untuk bergotong royong menuntaskan agenda reformasi yang sampai saat ini belum terlaksana dengan tetap berpegang pada apa yang telah diamanatkan di dalam Pembukaan Undang Undang Dasar 1945.
Demikian pernyataan sikap ini kami sampaikan sebagai bentuk rasa tanggung jawab dan keterpanggilan kami sebagai anak bangsa demi kelangsungan masa depan negeri ini, Indonesia Raya.
Oleh Perwakilan Eksponen FKSMJ ’98, Ubedillah Badrun