KedaiPena.Com – Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla gagal. Program Nawacita seperti yang tertuang dalam visi dan misinya tidak dapat direalisasikan. Rezim Jokowi justru mengulangi kebijakan yang dilakukan oleh Orde Baru, yaitu pembangunan disandarkan kepada utang luar negeri.
Demikian dikatakan aktivis 98 Sangap Surbakti dalam keterangan yang diterima redaksi, ditulis Rabu (11/7/2018).
“Data Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), utang luar negeri Indonesia terus mengalami kenaikan cukup signifikan sejak tiga tahun terakhir. Hingga saat ini utang luar negeri Indonesia telah mencapai Rp 7.000 triliun, jumlah tersebut merupakan total utang pemerintah dan swasta” kata dia.
Dari sisi Pemerintah, utang tersebut digunakan dalam rangka menambal defisit anggaran pemerintah. Sementara utang swasta dilakukan oleh korporasi dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Peningkatan utang terus berlanjut hingga APBN 2018 bulan Februari menembus angka Rp 4.034,8 triliun dan pada APBN 2018 mencapai Rp 4.772 triliun.
“Pemerintah Jokowi mengobral utang dalam bentuk Surat Berharga Negara (SBN). Jika kepemilikan SBN didominasi oleh asing, maka pemerintah tidak dapat mengendalikan pergerakan pasar. Akibatnya ketika ada penguatan dolar AS terhadap rupiah, pemerintah tak dapat berbuat banyak kecuali menyalahkan pihak eksternal,” kecewa Sangap.
“Besaran utang luar negeri ini harus menjadi perhatian semua pihak. Khususnya utang luar negeri yang digunakan untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur di Indonesia. Pembiayaan infrastruktur melalui utang luar negeri tak selalu berjalan mulus, ada beberapa negara yang gagal bayar atau bangkrut,” lanjutnya.
Kisah pahit negara yang gagal membayar utang dari utang luar negeri adalah Zimbabwe yang memiliki utang sebesar 40 juta dollar AS kepada Cina. Akan tetapi Zimbabwe tak mampu membayarkan utangnya, hingga akhirnya harus mengganti mata uang menjadi Yuan sebagai imbalan penghapusan utang.
“Kemudian, kisah pahit selanjutnya dialami oleh Nigeria yang disebabkan oleh model pembiayaan melalui utang yang disertai perjanjian merugikan negara penerima pinjaman dalam jangka panjang. Dalam hal ini Cina mensyaratkan penggunaan bahan baku dan buruh kasar asal Cina untuk pembangunan infrastruktur di Nigeria,” lanjut di lagi.
Sri Lanka yang juga tidak mampu membayarkan utang luar negerinya untuk pembangunan infrastruktur. Sri Lanka sampai harus melepas Pelabuhan Hambatota sebesar Rp 1,1 triliun atau sebesar 70 persen sahamnya dijual kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) China.
“Mereka membangun proyek infrastrukturnya lewat utang, akhirnya mereka tidak bisa bayar utang. Angola juga termasuk salah satu yang terjerat hutang dan mengganti nilai mata uangnya menjadi Yuan Cina,” urai eks aktivis Forkot ini.
Meski contoh-contoh di atas memilukan, namun perjanjian hal serupa dilakukan oleh rezim Jokowi-JK. Maka tak heran jika rezim ini, Sangap menambahkan, mengobral murah BUMN dan membuka kran yang luas bagi TKA, khususnya TKA dari Cina.
Laporan: Irfan Murpratomo