KedaiPena.com – Berdasarkan UU Pokok Agraria No 5 Tahun 1960, hak masyarakat adat maupun tanah adat merupakan perwujudan dari fungsi sosial tanah, yang memiliki kekuatan hukum lebih tinggi dibandingkan sertifikat.
Aktivis 98, yang sekarang menjadi advokat, Niko Adrian menyatakan hukum di Indonesia melindungi hak pemanfaatan tanah oleh masyarakat, jika ada kegiatan ekonomi di atas tanah tersebut dan jika mereka sudah bertahun-tahun menempati lahan tersebut, maka mereka lah yang menjadi prioritas.
“Jadi bukan semata-mata sertifikasi. Sertifikasi itu ujung dari UU Pokok Agraria. Itu formil. Yang penting dipahami adalah azas-nya dulu. Tanah itu punya fungsi sosial,” kata Niko, ditulis Minggu (17/9/2023).
Ia menjelaskan UU Pokok Agraria No 5 Tahun 1960, itu memiliki fungsi sosial tanah, yang mengakui hak tanah adat. Berbeda dengan Hukum Agraria Belanda.
“Dan nilai Ulayat tanah diakui oleh UU Pokok Agraria. Jadi kalau dipersoalkan formalitas keabsahan atas suatu tanah dalam masyarakat adat, itu tidak akan ada sertifikat,” ujarnya.
Sebagai contoh, sawah di Sumatera Barat itu tidak ada yang memiliki sertifikat, karena sawah itu merupakan turunan dari nenek moyang yang disebut Pusaka Tinggi.
“Atau Rumah Gadang, hampir semua itu tidak ada sertifikat. Karena sifatnya turun menurun. Atau contoh lain, masyarakat Baduy, apakah mereka punya sertifikat? Tidak. Tapi apakah boleh, datang lalu bikin sertifikat, mengakui itu sebagai hak milik,” ujarnya lagi.
Niko menegaskan bahwa hukum tak boleh digunakan untuk menindas rakyat sendiri.
“Penegakan hukum itu tidak boleh melanggar hukum, apalagi jika menggunakan kekerasan. Jika polisi datang dengan baik, tentunya tak perlu menggunakan kekerasan,” kata Niko lebih lanjut.
Ia mengingatkan bahwa yang pertama perlu dipahami adalah azas dari UU Pokok Agraria, yaitu fungsi sosial tanah yang mengakui hak masyarakat adat.
“Jadi mana, azas-nya yaitu fungsi sosial tanah atau sertifikasi yang merupakan ujung dari proses agar orang memiliki hak atas tanah. Azas-nya jangan dilupakan,” ungkapnya.
Begitu pula dengan investasi yang tak boleh melanggar prinsip-prinsip Pancasila, sebagai dasar negara.
“Dua kali kata keadilan disebut dalam Pancasila. Pasal 2 dan pasal 5. Jadi tidak bisa, atas nama investasi lalu menabrak prinsip-prinsip keadilan, yang tercantum dalam Pancasila. Tak bisa hukum itu dibuat jika bertentangan dengan hukum dasar negara kita. Jelas, azas-nya adalah keadilan. Hukum itu azas-nya keadilan,” pungkasnya.
Laporan: Ranny Supusepa