PEMILU 2019 merupakan torehan sejarah bagi rakyat Indonesia dalam menentukan nasib bangsa dan negara ke depan serta untuk kehidupan generasi-generasi selanjutnya.
Maka kita dapat pastikan bahwa kondisi saat ini kita meyakini apakah kita tetap ingin merasakan penderitaan yang terjadi selama ini ataukah kita ingin melepaskan belenggu penjajahan yang sudah menggeruk habis sumber daya alam dan manusia
Indonesia atas nama intervensi asing.
Kita adalah bangsa yang merdeka sesuai apa yang dinyatakan lewat teks naskah proklamasi kemerdekaan.
“Kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa oleh segala bentuk penjajahan harus dihapuskan karna tidak
sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”. (Alinea ke-1 Pembukaan UUD 1945).
Sistem demokrasi Indonesia ialah berbasis kedaulatan rakyat yang dimana demokrasi menurut pancasila dalam sila ke-4 seharusnya adalah demokrasi perwakilan.
Proses pelaksanaan demokrasi harus berorientasi kepada kepentingan rakyat dan kedaulatannya, hak-hak rakyat pada tempat yang seharusnya dalam memilih.
Pemimpin dan pemilu merupakan hal yang sangat esensial bagi seluruh Negara yang
menganut sistem demokrasi terutama Indonesia.
Pemilihan umum adalah instrumen politik paling sahih dalam Negara demokrasi. Pemilu bahkan dinilai sebagai manifestasi kedaulatan masyarakat dalam rangka melakukan rekrutmen kepemimpinan di daerahnya masing-masing.
Maka dari itu, penyelenggaraan pemilu sudah seharusnya bersifat inklusif terhadap seluruh elemen masyarakat.
Gagasan pemilu sebenarnya merupakan proses lanjut dari keinginan kuat untuk memperbaiki kualitas demokrasi yang berlangsung di dunia ketiga, sekaligus sebagai upaya lain untuk menghindari adanya praktek demokrasi semu (pseudo democracy) yang dapat memberangus demokrasi itu sendiri.
Namun akhir-akhir ini kondisi Indonesia dalam derasnya arus globalisasi sangat mempengaruhi rakyat Indonesia yang dimana rakyat Indonesia dihadapkan kepada situasi pemilihan pemimpin dalam
jangka waktu 5 tahun ke depan.
Adanya kedua calon dalam konteks pesta demokrasi sudah sepatutnya Indonesia menentukan arah kepemimpinan bangsa Indonesia. Jangan sampai rakyat sebagai bangsa terpengaruh oleh pola operasi intervensi asing yang dibangun melalui opini public.
Dampak yang dihasilkan dari opini publik akhirnya membuat rakyat Indonesia terprovokasi atas upaya-upaya devide et impera (politik adu domba) melalui cara tipu daya menebar ketakutan dan caci-maki.
Persoalan yang mudah menyulut konflik dan ancaman keamanan dalam pemilu adalah adu kekuatan dan kampanye antar pendukung calon presiden-wakil presiden dan tim sukses kedua pasangan.
Baik pendukung Joko Widodo-Ma’ruf Amin maupun Prabowo Subianto-Sandiaga Uno memiliki potensi memunculkan kampanye negatif, seperti black campaign, hoax, manipulasi data, politik transaksional atau money politic, serta politik identitas.
Gejolak politik yang timbul dapat di katakan akibat dari terlalu lama jadwal penetapan pemenang pilpres 2019, serta makin diperburuk dengan prediksi perolehan suara hitung cepat (quickcount) dan hitung suara (total) elektronik oleh berbagai lembaga pemerhati pemilu/pilpres yang mustahil bisa dicegah penyebarannya oleh KPU.
Selama masa penantian penetapan pemenang pilpres 2019 oleh KPU dipastikan
telah banyak beredar hasil perhitungan perolehan suara pilpres 2019 dan ini akan mempengaruhi tingkat opini yang berkembang di masyarakat.
Meski hasil perhitungan suara itu tidak dapat dijadikan pedoman namun pasti menimbulkan keresahan dan gejolak sosial politik karena KPU terlalu lama mengumumkan penetepan pemenang pilpres.
Kondisi tersebut kini telah berpengaruh terhadap kualitas proses penyelenggaraan Pemilu itu sendiri maupun nanti terhadap hasil Pemilu itu sendiri, yang pada akhirnya akan merugikan bagi rakyat dan
kedaulatannya.
Maka dengan rumitnya situasi yang digambarkan diatas rakyat Indonesia menjadi lupa bahwa semangat gotong royong dalam prinsip persatuan dan kesatuan menjadi memudar pada saat ini, yang menyebabkan bangsa Indonesia terlalu mudah terpecah belah.
Oleh karna itu, pemilu adalah sarana pelaksanaan proses demokrasi yang seharusnya mampu membangun dan menjaga tumbuh kembangnya kedaulatan rakyat.
Apabila pemilu tidak dilakukan dengan tujuan dan sejatinya maka dampak yang akan dihasilkan adalah KRISIS KEPERCAYAAN RAKYAT TERHADAP
PEMIMPIN.
Menyinggung serta mengingat anggaran pemilu sebesar Rp24,8 Triliun yang ini dinyatakan sebagai pesta demokrasi.
Nyataanya ini tidak sesuai dengan anggota KPPS yang meninggal dunia sejumlah 326 jiwa. Lalu masih
pantaskah itu disebut dengan pesta demokrasi? Bagaimana KPU, DPR, Presiden bersikap dan bertanggung jawab?!
Bahwa dengan adanya pemilu yang tidak berdasarkan nilai nilai pancasila,ini membuat kebobrokan atas nama penyelanggara Negara yang tidak mampu mencapai atau semakin jauh dari tujuan Indonesia merdeka yang telah di janjikan dalam pembukaan UUD 1945.
Prinsip yang dilandasi oleh pancasila seharusnya memiliki prinsip pemanfaatan sumber daya alam, sumber daya teknologi, sumber daya manusia, dan untuk sebesar besarnya kepentingan rakyat banyak.
Di sisi lain tercatat pada per akhir Januari 2019 hutang Indonesia membludak kepada asing sebesar Rp.4.498,56 Triliun.
Dari utang tersebut, rasanya ini menjadi tidak pantas karna beberapa kepulauan yang ada di Indonesia telah terkuasai oleh asing. Dan beberapa perusahaan besar (milik asing) yang mengatasnamakan investasi dan inilah data yang tercatat beberapan pulau yang dikuasai asing.
Ada sebelas pulau kecil diwilayah kepulauan Indonesia yang telah dikelola oleh swasta (asing). Nilai investasi yang ditanamkan tidak sedikit, yaitu mencapai Rp. 11.046 Triliun (data pertahun 2017). Sebelas pulau kecil itu
tersebar di Kepulauan Riau, Kab. Sumbawa, Kab. Lombok Timur, Kab. Lombok Barat (NTB), Kepulauan Seribu (DKI Jakarta), Kab. Ketapang (Kal-Bar), dan Kab. Pandeglang.
Kesebelas pulau ini dikelola untuk kepentingan asing atas nama wisata kebun kelapa sawit dan gudang penyimpanan minyak yang dimana kebijakan berjalan secara sistematis dan masif, yang dimana itu dilandasi oleh dasar hukum yang memayungi. Bentuknya adalah UU No 01/2014 Tentang Perubahan Atas
UU No 27/2007 Tentang “Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau Kecil”. Atas dasar ini semua membuat posisi Indonesia tersandra oleh asing. Perlu diketahui dan disadari bahwa jenis ancaman yang mungkin dihadapi oleh bangsa Indonesia,
ancaman-ancaman tersebut dapat berasal dari dalam maupun luar negeri.
Ancaman pertama adalah ancaman militer yang merupakan ancaman dengan menggunakan kekuatan senjata
dan terorganisasi serta dinilai mempunyai kemampuan membahayakan kedaulatan dan keutuhan Negara
serta keselamatan bangsa.
Ancaman militer dapat berbentuk agresi yaitu penggunaan kekuatan bersenjata
untuk melakukan aksi pendudukan di Indonesia, melalui invasi, blokade, melakukan aktifitas yang
merugikan terhadap batas kedaulatan negara. Simak dan pahami apa yang terjadi di laut Natuna beberapa
hari yang lalu.
Ancaman kedua adalah ancaman non-militer atau nirmiliter yang merupakan ancaman berdimensi ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, keselamatan, teknologi dan kesehatan umum, serta legislasi.
Silahkan pelajari beberapa produk hukum baik Perda maupun UU yang ada dan berlaku saat ini yang melindungi bagi kepentingan asing di Indonesia.
Sedangkan ancaman ketiga adalah ancaman hibrida, yaitu ancaman yang memadukan ancaman militer dan ancaman non-militer. Ancaman hibrida dapat berupa gabungan ancaman konvensional, asimetrik, cyber warfare, dan war by proxy.
Ekonomi Pancasila memerlukan peran aktif penyelenggara Negara selaku pemegang kebijakan untuk mengatur agar pemanfaatan sumber daya alam yang ada untuk sebesar besarnya kepentingan rakyat banyak, sehingga ini akan memberikan kesempatan yang sama dalam menikmati kekayaan alam yang dimiliki
bersama, dikarenakan Indonesia negara yang sedang berkembang seharusnya menerapkan prinsip ekonomi berbasis konstitusi dengan adanya prinsip dalam pijakan dasar yang sesuai dengan amanat
founding father yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945.
“Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial”
Korelasinya dengan pilpres 2019, kita sesadar-sadarnya kini di hadapkan pada situasi beberapa bentuk ancaman, dan Kita Keluarga Besar Mahasiswa UMJ menjawab:
1. BAHWA PEMILU 2019 HARUS MAMPU MEMBANGUN NARASI HARAPAN DENGAN
DIPERKUAT OLEH PROSES YANG TRANSPARAN, BERKEADABAN DAN MINUS INTERVENSI DAN MANIPULASI YANG DI ORDER OLEH PEMBAJAK DEMOKRASI!!!
2. DEMOKRASI BUKANLAH AJANG PENCARIAN BAKAT SIAPA YANG TERBAIK. BAHWA
DEMOKRASI BAGI INDONESIA ADALAH DEMOKRASI YANG BERLANDASKAN
PANCASILA, BUKAN PEMILIHAN YANG MENYEBABKAN DEMOKRASI KEBABLASAN
YANG PENUH TIPU DAYA ATAU MANIPULASI
3. PILPRES 2019 JELAS HARUS MAMPU MELAHIRKAN PEMIMPIN YANG BERORIENTASI
KEBANGSAAN DAN BERKOMITMEN TERHADAP PANCASILA, KARENA JIKA KEJAHATAN INI TIDAK BISA DI CEGAH, DI ATASI ATAUPUN SEGERA DI AMPUTASI MAKA KEJAHATAN INI MENJADI “TUAN PENENTU” SIAPA YANG MENANG DAN SIAPA YANG KALAH, SIAPA YANG AKAN JADI PEMIMPIN DAN SIAPA YANG AKAN
DIPIMPIN.
ARTINYA URUSAN PUNCAK POLITIK BERBANGSA DAN BERNEGARA DIACAK-ACAK OLEH SEGEROMBOLAN PENJAHAT, PEMBAJAK DEMOKRASI DAN MEREKA YANG BERKHIANAT TERHADAP KEDAULATAN BANGSA DAN
KEDAULATAN RAKYAT.
4. INDONESIA HARUS BERDIKARI DAN TIDAK DAPAT DI INTERVENSI OLEH ASING
ATAS DASAR EKONOMI, POLITIK, SOSIAL BUDAYA, PENDIDIKAN, HUKUM,
PERTAHANAN, KEAMANAN, HUBUNGAN INTERNASIONAL BERDASARKAN DAN
BERLANDASKAN PANCASILA.
5. SIAPAPUN PEMIMPINNYA MEREKA HARUS TAAT TERHADAP PANCASILA DAN MENJALANKAN PERAN SERTA FUNGSI YANG BERLANDASKAN PANCASILA MENCAPAI TUJUAN BERSAMA YAITU KEADILAN SOSIAL BAGI SELURUH RAKYAT
INDONESIA.
6. PANCASILA SEBAGAI SUMBER DARI SEGALA SUMBER HUKUM ADALAH PINTU KEPASTIAN PANCASILA SEBAGAI HIERARKI TERTINGGI DALAM MENJAWAB RUMITNYA SITUASI YANG MENIMPA INDONESIA
Manifesto Aksi Keluarga Besar Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) yang digelar di depan kampus mereka, Cireundeu, Jumat (3/5/2019).