Artikel ini ditulis oleh Arief Gunawan, Pemerhati Sejarah.
MAHASISWA Indonesia dulu dikriminalisasi dengan sebutan Al Capone bende (gangster Al Capone).
Aktivitas mereka di Belanda tahun 1930-an dikekang oleh spreek-delict (pasal pelanggaran bicara) dan diganggu oleh boodschapper (orang suruhan).
Namun gerakan anti penjajahan yang dipelopori oleh para mahasiswa dari negeri-negeri terjajah kala itu meluas jadi gerakan internasional.
Pada Februari 1927 Hatta bersama beberapa tokoh mewakili mahasiswa Indonesia membentuk Liga Anti Imperialisme dan Penindasan Nasional, di Brussel, Belgia, yang terdiri dari 37 negeri terjajah.
Aksi perjuangan kemerdekaan mahasiswa Indonesia di Belanda seperti halnya aksi-aksi mahasiswa saat ini bersifat non-violence, mengedepankan gerakan moral.
Itulah sebabnya gerakan para mahasiswa Indonesia di Belanda pada masa itu mendapatkan simpati dari kaum buruh (arbeidsgroep), kelompok etis, dan masyarakat anti penjajahan.
Hal yang sama juga dialami oleh gerakan aksi-aksi mahasiswa saat ini yang masif berlangsung di Jakarta dan daerah-daerah.
Simpati untuk mereka datang dari kalangan masyarakat biasa dan emak-emak yang secara spontan memberikan bantuan makanan dan minuman, bahkan di beberapa tempat para emak-emak memberikan perlindungan kepada mahasiswa dari kejaran oknum aparat yang brutal.
“Ini menunjukkan mahasiswa sudah berhasil merebut hati dan dukungan masyarakat,” tandas tokoh nasional Dr Rizal Ramli seperti dikutip sebuah media online belum lama ini.
Dr Rizal Ramli yang merupakan salah satu pimpinan pergerakan mahasiswa 1978 mengapresiasi aksi-aksi mahasiswa yang berlangsung tertib dan damai, meski aksi non-violence ini sempat tercoreng oleh oknum aparat.
Namun beruntung saat aksi 21 April lalu mahasiswa mampu mengendalikan simpul-simpul aksi, sehingga tidak disusupi oleh perekayasa kerusuhan.
Non-violence telah menjadi ciri universal gerakan murni mahasiswa. Bahkan gerakan mahasiswa Budi Utomo, 1908, mengedepankan gerakan moral.
Mereka misalnya concern kepada penyakit sosial di masyarakat kala itu, yang disebut Mo Limo: madat, madon, main, minum, maling.
Kelompok pertama yang merespon usaha Wahidin Sudirohusodo dalam menggalang studie fonds juga mahasiswa, setelah kelas menengah bumiputera kala itu, yang umumnya priyayi, memilih bersikap pasif dan cenderung sinis, karena status quo.
Gerakan aksi mahasiswa 1966 menampilkan pula misi non-violence. dengan tema Tritura: Turunkan Harga-Harga, Retooling Kabinet, dan Bubarkan PKI.
Tritura kala itu jadi bagian dari Ampera (Amanat Penderitaan Rakyat).
Sukarno yang tiada lagi mampu mengatasi tekanan, ditambah pula para menteri yang tak becus menangani persoalan akhirnya tersudut.
Di tengah situasi ini, tindakan represif oknum aparat keamanan tiada dapat dihindari. Pada 24 Februari 1966 meletuslah senjata Cakrabirawa, pasukan elit pengawal Sukarno, menewaskan seorang demonstran, mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Arief Rahman Hakim.
Aksi damai mahasiswa yang berbalas kekerasan ini akhirnya mempercepat kejatuhan Sukarno yang berujung tragis dan memilukan.
Siapakah gerangan Arief Rahman Hakim?
Ia adalah salah satu representasi sosok para mahasiswa yang menjadi korban ketidakadilan pemerintah.
Seperti halnya para mahasiswa yang belakangan ini masif turun ke jalan, di Jakarta maupun daerah-daerah, yang menginginkan masa depan Indonesia lebih baik.
Mahasiswa hari ini juga bergerak dalam konteks kesadaran moral, karena sebagai pemilik sah masa depan negeri ini mereka menghadapi persoalan ril berkaitan dengan masa depan mereka sendiri dan masa depan bangsa.
Ikatan batin berupa rasa sepenanggungan terhadap nasib bangsa telah menggerakkan mereka untuk turun ke jalan, setelah dua tahun aspirasi mereka terbungkam karena situasi pandemi Covid-19.
Moralitas yang seharusnya menjadi salah satu pilar kekuasaan, selain politik dan hukum, kini telah goyah. Karena itu mahasiswa terpanggil untuk menjalankan mission sacre yang seharusnya tidak boleh dinodai.
Dalam sejarah kemerdekaan mahasiswa termasuk pula di dalam golongan apostel dan debutan (pencerah & yang memulai tampil) dalam menggerakkan gagasan kemerdekaan, yang kemudian mendorong kesadaran rakyat betapa belenggu penjajahan telah menyuburkan berbagai penindasan.
Dalam terminologi Bung Hatta mahasiswa adalah akal dan nurani rakyat. Sebagai akal dan nurani mereka hari ini menjadi bagian dari korban situasi, akibat ketidakadilan tatakelola kehidupan bernegara yang dijalankan oleh pemerintah dan korban rusaknya perekonomian nasional yang mengundang kesengsaraan mayoritas rakyat.
Audaces Fortuna Iuvat, kata pepatah latin, kebenaran menolong mereka yang berani. Berani karena memperjuangkan kebenaran.
Kebenaran yang sekarang sirna oleh ketamakan kekuasaan yang kini berhadapan dengan kekuatan moral mahasiswa.
[***]