KedaiPena.Com – Dalam parade 412 banyak bendera partai politik, yang justru tak nampak di 212. ‎Terasa gerakan Parade 412  lebih dimobilisasi. Gerakan ini nampak rapih dan tertata. Banyak bus masuk Jakarta. Namun partisipasi dari bawah, spontanitas peserta kurang terasa dalam 412.
Demikian disampaikan founder Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA dalam keterangan yang diterima redaksi, ditulis Senin (5/12).‎
“Parade 412 lebih terasa top-down. Sementara people power 212 lebih terasa bottom-up. Yang 412 lebih terasa mobilisasi dari atas. Yang 212 lebih terasa partisipasi dari bawah,” kata dia.‎
Selain itu, imbuh dia, tokoh politik yang terlibat dalam gerakan juga berbeda. ‎Even 212 mampu tak terduga melibatkanPresiden Indonesia, Jokowi. Di panggung bahkan presiden berpidato didampingi wapres, dan para menteri.
Sementara even 412 menyajikan para ketua umum partai seperti Surya Paloh yang didampingi Setya Novanto, Djan Faridz, dan lain lain. K‎ehadiran presiden dan wapres dalam 212 membuat bobot politik people power itu lebih kuat bergaung dibandingkan 412.‎‎
“Jika ditarik pada pilkada DKI, event 212 lebih diwarnai sentimen anti Ahok. Sementara 412, entah kebetulan atau tidak, dipelopori oleh partai pendukung Ahok minus PDIP. ‎Menjadi pertanyaan pula, mengapa PDIP tidak aktif terlibat dalam 412? Bukankah secara ideologi, PDIP senyawa dengan pesan utama parade? PDIP juga sama pendukung pemerintah dan Ahok?,” beber Denny.‎
Namun kedua gerakan itu, 212 dan 412, saling memperkaya kita. Pesannya sama penting untuk pertumbuhan kita sebagai bangsa. ‎Dalam 212, isu utama “meminta keadilan” terhadap Ahok yang dianggap mengganggu dignity agama. Hal itu berakibat terganggunya ruang publik keberagaman yang saling menghormati.
Dalam 412 dikokohkan Indonesia untuk semua, apapun agama dan sukunya. Musuh bersama adalah kebodohan dan kemiskinan, bukan sesama anak bangsa yang berbeda identitas.
Selesai pilkada DKI, kita harap Jakarta dan Indonesia merekat kembali. Ketegangan hari hari ini, jika ada, semoga justru menjadi simulasi mencari pola kebersamaan yang lebih saling respek.
“Dan kitapun belajar menjadi pemimpin tak cukup hanya piawai  membuat kali menjadi bersih, dan mantap dalam menata kota. Namun pemimpin harus juga piawai menata emosi manusia di dalamnya. Warga itu punya hati dan keyakinan yang perlu dihormati,” pungkasnya.
Laporan: Muhammad Hafidh