Artikel ini ditulis oleh Dr. KRMT Roy Suryo, M.Kes, Menteri Pemuda & Olahraga Ke-11 Kabinet Indonesia Bersatu (2013-2014), Pemerhati Telematika Multimedia AI & OCB Independen.
Saya -sengaja- menggunakan diksi “akhirnya” sebagai awal judul diatas, bukannya “Alhamdulillah” atau malahan “Innalilahi” agar tidak seperti (sok) mau berkesan “agamis”, namun salah kaprah sebagaimana yang dilakukan oleh Menkominfo Budi Arie Setiadi saat Raker dengan Komisi-1 DPR-RI tentang Pembobolan PDNs (Pusat Data Nasional sementara) 27/06/2024 yang sempat sang Menteri saat itu ditegur dan dikoreksi oleh Anggota DPR-RI Sukamta (F-PKS), sungguh “terwelu” alias terlalu memalukan.
Namun kali ini memang bisa dibenarkan kalau digunakan diksi “Alhamdulillah”, karena kita harus tetap bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, Allah SWT, meski prestasi atlet-atlet Badminton di Olimpiade Paris 2024 kali ini di bawah target yang sudah dicanangkan oleh PBSI (Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia). Raihan 1 Perunggu yang didapat Gregoria Mariska Tunjung menjadi satu-satunya medali dari Cabor (Cabang Olahraga) yang biasanya menjadi “tradisi emas” Indonesia di ajang olahraga bergengsi dunia empat tahunan tersebut.
Meski dari Cabor lain -misalnya Panjat Tebing dan Angkat Besi- kita masih memiliki asa untuk mendapatkan medali dan mempertahankan “tradisi emas” itu, namun memang saat tulisan ini dibuat kedua Cabor tersebut belum dimulai pertandingannya. Jadi saat ini memang khusus dibahas bagaimana dinamika prestasi Badminton Indonesia yang dimulai semenjak dipertandingkan dalam Olimpiade Barcelona 32 tahun lalu (1992) yang selalu dikenang sebagai “Pasangan Emas” Allan Budikusuma – Susi Susanti karena pertamakali ikut dan langsung menyabet dua emas.
Secara total dalam 11 Olimpiade yang diikuti, hingga kini Indonesia sudah berhasil meraih delapan emas, 14 perak dan 16 perunggu dari berbagai cabor dan nomor berbeda, termasuk yang barusan didapat Georgi. Sementara pesta Olahraga Olimpiade ini sendiri sebenarnya ada semenjak tahun 1896 dan keikutsertaan Indonesia sudah dimulai di tahun 1952 di Olimpiade Helsinski Finlandia, yang saat itu mengikutsertakan tiga atlet, Maram Sudarmodjo (Lompat tinggi), Habib Suharko (Renang) dan Thio Ging Hwie (Angkat Berat).
Debut “pasangan emas” di tahun 1992 saat itu juga dibarengi oleh Ganda Putra Eddy Hartono/Rudi dan Tunggal Putra Hermawan Susanto yang masing-masing memperoleh 1 Perak dan 1 Perunggu. Setelah itu memang “tradisi emas” terus ditorehkan oleh atlet-atlet Badminton lainnya, seperti Ganda Putra Ricky/Rexy di Amerika Serikat 1996, Ganda Putra Toni/Chandra di Sidney 2000, Tunggal Putra Taufik Hidayat di Athena 2004, Ganda Putra Hendra/Kido di Beijing 2008, Ganda Campuran Owi/Butet di Brasil 2016, dan Ganda Putri Polii/Apriani di Tokyo 2020.
Memang sempat Indonesia Zonk dalam medali emas yakni ketika Olimpiade London 2012, namun untungnya 12 tahun lalu tersebut masih ada cabor lain (Angkat besi) dengan Atlet Triyatno, Citra dan Eko Yuli yang menyumbang 2 Perak dan 1 Perunggu. Memang selain Badminton, Cabor Angkat Besi ini juga beberapa kali berkontribusi menyumbang medali semenjak Olimpiade Beijing 2008 dan bahkan jauh sebelumnya saat di Seoul 1988, tiga srikandi Indonesia (Nurfitriana, Kusumawardhani, dan Lilis) juga sudah memulai prestasi Indonesia dengan menyumbangkan Medali Perak.
Sayang sekali di tahun 2024 ini meski turun dengan sembilan pemain di lima nomor Cabor Badminton, Jonathan Christie dan Antony Sinisuka Ginting (Tunggal Putra), Fajar Alfian/Muh Rian Ardianto (Ganda Putra), Rinov Rinaldi/Pitha Haningyas (Ganda Campuran), Apriani Rahayu/Siti Fadila (Ganda Putri), hanya Gregoria Mariska Tunjung di Tunggal Putri saja yang bisa melenggang ke Babak Semifinal dan akhirnya mendapatkan Perunggu. Sebenarnya Giorgi masih harus berjuang memperebutkan tempat ketiga tersebut, namun calon lawan mainnya (Carolina Marin) cidera lutut dan pertandingan tidak dilakukan.
Dengan (menurunnya) prestasi Cabor Badminton di Olimpiade Paris 2024 sekarang ini, apa yang seharusnya dilakukan oleh PBSI khususnya dan Kemenpora pada umumnya? Sebab olahraga yang diperkenalkan semenjak tahun 1860 silam oleh Isaac Spratt ini sebenarnya de facto sudah menjadi “trade mark” dan kebanggaan Indonesia. Di berbagai pelosok Indonesia, Badminton atau Bulutangkis ini sangat populer dan mudah serta murah dimainkan dimana-mana, jadi jangan sampai supremasi Indonesia di Cabor ini sirna akibat salah urus, yang mengakibatkan tidak lahirnya lagi atlet-atlet kebanggaan negeri yang (konon) gara-gara ada like-and-dislike Pengurus PBSI saat ini dengan Klub-klub Badminton binaan sponsor yang sebenarnya sudah terbukti melahirkan pemain-pemain legendaris Indonesia.
Kita rindu era tempo doeloe dimana Indonesia sarat akan pemain-pemain kampiun seperti Sang Juara All England 8x Rudi Hartono, Perintis “Smash King” Liem Swie King, Ganda Putra Lejen Tjun-tjun/Johan Wahyudi, Christian/Ade Chandra, Riki Maulana/Rexi Mainaky, Tunggal Putra Lius Pongoh, Hastomo Arbi, Tunggal Putri Susi Susanti, Verawaty, Ivana Lie, hingga Mis Audina, dsb. Bisa dibayangkan saat pemain-pemain ini tampil, gegap gempita penonton untuk selanjutnya menyanyikan Lagu Indonesia Raya dan mengibarkan Bendera Merah Putih pasti sudah didepan mata.
Kesimpulannya, senyampang akan diselenggarakannya Munas PBSI 10-12/08/2024 di Surabaya mendatang, kita semua berharap agar kepemimpinan Ketua PBSI terpilih adalah sosok yang benar-benar bisa mengayomi semua, tidak subyektif, dan figur yang sudah “selesai dengan pencitraannya”, artinya benar-benar mendedikasikan waktu sepenuhnya untuk cabor kebanggaan kita bersama ini. Jangan sampai malah PBSI digunakan hanya untuk “kendaraan tumpangan” tujuannya yang lain, apalagi Politik. Kita semua rindu untuk bersorak “Indonesia … indonesia … indonesia …” ketika atlet-atlet kita berlaga dan akhirnya berjaya hingga juara.
[***]