Artikel ini ditulis oleh Arief Gunawan, Pengamat Politik.
Barangkali sebuah kebetulan atau mungkin sudah takdir sejarah ternyata banyak tokoh pergerakan kemerdekaan negeri ini memulai perjuangannya di Jawa Barat.
Jawa Barat, khususnya Bandung sebagai ibukota Priangan, menjadi salah satu kota persemaian nasionalisme para tokoh pejuang kemerdekaan, mulai dari Tirto Adhisuryo, Tjipto Mangunkusumo, Ki Hadjar Dewantara, Soeryopranoto, Douwes Dekker, Sosrokartono, Sam Ratulangi, Abdul Muis, Hatta, Sukarno, Natsir, Sutan Sjahrir, A.H Nasution, Alex Kawilarang, dan banyak lagi.
Mereka adalah sedikit contoh dari sekian banyak tokoh yang memulai debutnya di ibukota Jawa Barat, Bandung, yang kebetulan pula mereka bukan Urang Sunda.
Salah satu ciri egaliterian masyarakat Jawa Barat yang sangat menonjol ialah sifatnya yang terbuka, religius, pekerja keras, toleran, mencintai seni, dan suka heureuy (humoris).
Jumlah penduduk termasuk terbesar di Pulau Jawa, total warga di Jawa Barat 49 juta jiwa.
Rizal Ramli, yatim piatu yang ditinggal wafat oleh kedua orangtuanya saat masih berusia 6 tahun. Ia menghabiskan masa kanak-kanak hingga remaja di kota Bogor, dalam asuhan sang nenek.
Ia menjalani persemaian nasionalismenya di Jawa Barat, dengan menjadi tokoh pergerakan mahasiswa di Bandung, yaitu di ITB (Institut Teknologi Bandung).
Pertalian batin Rizal Ramli dengan Jawa Barat sangat erat. Di sinilah ia menjalani pematangan diri sebagai tokoh pergerakan, intelektual, organisatoris, sekaligus mahasiswa fisika yang cerdas dengan cakrawala pemikiran yang luas.
Karakter masyarakat Jawa Barat rupanya cocok dengan Rizal Ramli yang dinamis dan optimistis.
Seakan memiliki pertalian sejarah dengan Sukarno yang merumuskan konsepsi Marhaenisme di Jawa Barat, yakni di Cigereleng, Bandung, Rizal Ramli saat mahasiswa juga merumuskan salah satu persoalan zamannya ketika itu, yaitu kepeduliannya terhadap nasib 8 juta anak Indonesia tanpa pendidikan, yang kemudian mendorongnya memimpin Gerakan Anti Kebodohan, pada tahun 1976, yang menghasilkan Undang-undang Wajib Belajar.
Itulah sumbangsih pertamanya sebagai seorang anak muda belia berusia 22 tahun. Yatim piatu yang beribukan seorang guru yang mengajarkannya membaca dan menulis sejak usia 3 tahun.
Pertalian batin Rizal Ramli dengan Jawa Barat semakin erat tatkala ia menjadi penghuni asrama mahasiswa ITB di Jalan Ganesha 10, Bandung.
Ia bukan saja cepat berbaur dan akrab dengan orang-orang di Jawa Barat, tetapi juga terbiasa berbahasa Sunda termasuk melebur dalam budaya Sunda.
Karena kecintaannya itu saat menjadi menteri keuangan di kabinet Presiden Gus Dur, misalnya, Rizal Ramli mendedikasikan dana hibah dari pemerintah Kuwait untuk pembangunan fly over Pasopati, Bandung, sebagai salah satu upaya mengurai kemacetan lalu lintas di kota yang oleh orang Belanda dulu disebut Mooie Stad met Bloemen, Kota Indah dengan Semerbak Bunga, itu.
Bandung yang metropolis-egaliter juga menularkan toleransi. Sebagaimana para tokoh pergerakan kemerdekaan pada umumnya Rizal Ramli tidak bersikap provincialist dalam bergaul.
Ia berteman dengan siapapun, dari berbagai suku, agama, dan etnis.
Kegemarannya berorganisasi membawanya ke dalam lingkungan yang sangat majemuk.
Sebagai tokoh pergerakan mahasiswa ITB 1978 Rizal Ramli juga menempuh kemiripan jalan sejarah Sukarno.
Ia pernah dipenjarakan di Sukamiskin, Bandung, karena melawan otoritarianisme dan praktek KKN Orde Baru. Ia dipenjara di Sukamiskin, penjara yang sama dimana Sukarno pada 1930 dipenjarakan oleh rezim kolonial Belanda.
Sebagai pengakuan budaya para tokoh Sunda juga banyak memberikan gelar adat kepada Rizal Ramli.
Masyarakat adat Sunda di Bogor, Jawa Barat, misalnya, secara simbolik pernah menyerahkan sebilah kujang kepadanya. Kujang adalah senjata khas kebanggaan masyarakat Sunda dan dipercaya merupakan senjata Prabu Siliwangi.
Gelar adat Sunda lainnya diberikan kepada Rizal Ramli oleh pimpinan Museum Prabu Siliwangi, KH Raden Adipati Fajar Laksana, karena keberpihakan Rizal Ramli kepada wong cilik dalam persoalan ekonomi.
Di Kampung Karang Tengah, Kecamatan Gunung Puyuh, Sukabumi, Jawa Barat itu, Rizal Ramli menerima gelar adat, yaitu gelar adat Sunda Rama Praditya melalui prosesi Naik Lisung Pajajaran.
Lisung merupakan simbol kesejahteraan dan kemakmuran bagi masyarakat Sunda.
Gelar Rama Praditya sendiri mengandung arti “Tokoh yang Pintar dan Bijaksana”. Ikat kepala hitam khas Sunda diberikan kepadanya dengan makna filosofis, yaitu sebagai simbol untuk mengekang hal-hal yang tidak baik di dalam pikiran manusia.
Modal sosial yang kuat ini dinilai oleh banyak kalangan Rizal Ramli sebenarnya memiliki potensi besar untuk menjadi Kuda Hitam politik Indonesia.
Banyak pula kalangan mengakui, selain sudah sangat mengakar di Jawa Barat, Rizal Ramli memiliki potensi dukungan yang kuat di wilayah Jawa Timur, karena karakter masyarakatnya yang cocok dengan karakter Rizal Ramli, yaitu suka berterus-terang dan apa adanya.
Selain karena adanya kedekatan batin Rizal Ramli dengan NU Kultural di ujung Timur dan Utara Pulau Jawa itu. Apalagi kalau diperhitungkan dukungannya sangat kuat dikalangan mahasiswa, anak muda pergerakan, buruh dan 40% swing voters. Sang Kuda Hitam.
[***]