PENGUMUMAN Menteri ESDM Ignasius Jonan mengenai penyederhanaan golongan tarif listrik PLN hanya menjadi golongan 4400 VA dan 13200 VA mengundang banyak pertanyaan. Tentu masyarakat berpikir bahwa tagihan listriknya akan naik drastis.
Walaupun dalam penjelasan berikutnya diterangkan bahwa biaya kenaikan daya dari misalnya sebelumnya 1300 VA atau 2200 VA menjadi 4400 VA digratiskan, dan tarif listriknya tetap sama yaitu Rp 1467/Kwh.
Namun masih belum dijelaskan soal biaya abonemen dan sebagainya, apakah dinaikkan atau tidak. Atau dengan singkat kata, walaupun daya listriknya yang tadinya 1300 VA atau 2200 VA terus menjadi 4400 VA bila pemakaiannya sama dengan sebelumnya apakah tagihan listriknya sama dengan sebelumnya?
Kalaupun jawabannya tagihan listriknya masih tetap sama dengan sebelumnya maka masih menyisakan pertanyaan besar bagi masyarakat, yaitu buat apa PLN-ESDM melakukan kebijakan ini?
Maka jawabannya adalah karena PLN-ESDM mau memaksa masyarakat untuk membeli kelebihan daya listrik PLN. Tidak mungkin PLN menggratiskan biaya kenaikan daya listrik misalnya dari 1300 VA atau 2200 VA ke 4400 VA atau yang di atas itu menjadi 13200 VA ditambah menggratiskan biaya penggantian Mini Circuit Breaker (alat pembatas arus listrik) yang untuk puluhan juta pelanggan rumah tangga bisa bernilai triliunan itu tanpa maksud menarik keuntungan dari masyarakat.
Walaupun awalnya masyarakat ditagih biaya listrik yang sama dengan semula, tetapi PLN akan dengan secara halus memaksa masyarakat agar lebih boros listrik. Misalnya masyarakat yang tadinya menggunakan kompor gas yang lebih murah akan beralih ke kompor listrik yang jelas lebih mahal biaya listriknya.
Masyarakat yang tadinya menggunakan 1 AC dalam rumahnya bisa jadi menambahnya menjadi 4 atau 5 AC karena daya listriknya mampu atau tidak mengakibatkan mini circuit breaker-nya drop. Jadi dalam jangka tidak terlalu lama konsumsi listriknya akan naik dan konsumsi nasional akan naik sehingga akan menyerap banyak sekali kelebihan daya listrik PLN.
Kebijakan PLN-ESDM seperti ini yang belum pernah terjadi sebelumnya. Ini menunjukkan bahwa di balik kebijakan ini PLN sedang panik memiliki kelebihan daya listrik atau over supply yang tidak bisa terjual ke konsumen dan akhirnya memaksa konsumen rumah tangga untuk menyerapnya dan membayarnya.
Dan ini tidak ada hubungannya dengan program 35.000 MW yang mengakunya direncanakan untuk pertumbuhan ekonomi 7 persen kemudian ternyata pertumbuhan ekonominya hanya 5 persen.
Karena dari yang direncanakan 35.000 MW selesai 2019 yang pernah dikepret oleh DR Rizal Ramli Menko Perekonomian era Presiden Abdurrahman Wahid dan Menko Maritim 2015-2016 karena akan over supply dan merugikan PLN karena ada perjanjian “take or pay”. Bila PLN tidak mampu menyerap daya listrik pembangkit swasta, maka PLN harus tetap membeli listrik tersebut.
Saat ini, menurut keterangan salah satu Direktur PLN dalam wawancaranya di sebuah stasiunTV berita beberapa minggu yang lalu, program listrik 35.000 MW baru bisa dilaksanakan konstruksinya sebesar 15.000 MW.
Karena konstruksi pembangkit listrik setelah tanahnya siap itu membutuhkan waktu 3-4 tahun, maka pada 2019 dari target 35.000 MW pembangkit listrik baru yang bisa nyala (Commercial Operation Date /COD) maksimal hanya 10.000-13.000 MW.
Jauh lebih rendah dari target 35.000 MW. Jadi ini bukan masalah pertumbuhan ekonominya hanya 5 persen, tetapi memang salah hitung dari awal. Karena itu DR Rizal Ramli mengepret program 35.000 MW dan dibantah oleh Wapres Jusuf Kalla tetapi akhirnya sekarang terbukti DR Rizal Ramli yang benar.
Masalahnya sekarang PLN-ESDM panik karena ada kelebihan daya listrik yang besar dan tidak terserap oleh konsumen terutama dunia industri. Karena itu dengan akal-akalan menyederhanakan golongan tarif listrik rumah tangga dengan hanya 4400 VA dan 13200 VA. PLN-ESDM memaksa rumah tangga agar lama kelamaan menjadi boros listrik dan menyerap kelebihan daya listrik dan membayarnya.
PLN-ESDM yang seharusnya menjadi pelayan publik sekarang bahkan terbalik menjadi mengorbankan masyarakat. Rumah tangga masyarakat yang sekarang disuruh membayar kesalahan-kesalahan hitung dan manajemen PLN-ESDM sementara mereka tetap menikmati fasilitas-fasilitas negara yang sangat berlebihan.
Oleh Abdulrachim K, Analis Kebijakan Publik