KedaiPena.Com – Akademisi Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedillah Badrun menilai, jika situasi darurat hukum disebabkan lantaran persoalan korupsi dan oligarki mengakar. Ubed pun memandang, hukum menjadi tumpul lantaran korupsi masih merajalela serta peran yang luar biasa dari oligarki.
Demikian hal itu disampaikan oleh Ubed sapanya dalam kegiatan diskusi yang diselenggarakan oleh Front Milenial Jabodetabek (FMJ), Minggu (19/12/2021).
“Disaat korupsi merajalela, KPK dilemahkan oleh eksekutif dan legislatif sejak 2019 dan kita sedang mengalami krisis keteladanan, bahwa di ranah hukum dan elit politik kita mengalami krisis keteladanan, mereka mengambil kebijakan tidak memikirkan moralitas tidak memakai sifat teladan dari para pendiri bangsa,” ucap Ubed, Senin, (20/12/2021).
Menurutnya, proses terjadinya darurat oligarki sesungguhnya dinilai dari konteks politik atau pemilu yakni saat dilakukanyan pemilihan eksekutif maupun legislatif.
“Karena sistem politik dimana modal menentukan segalanya, sehingga siapa yang memiliki modal yang besar dia yang memangkan eksekutif, dan pemilik modal besar secara financial adalah kelompok oligarki. Dan jika oligarki memiliki eksekutif, legislatif dan itu yang membuat oligarki besar,” tambahnya.
Dari hal itu, kata Ubed, menyebabkan banyaknya UU yang berpihak pada oligarki. Namun sebenarnya rakyat telah mengalami situasi yang tidak percaya pada elit kekuasaan, bahkan sudah kesal dan benci dengan korupsi dan oligarki.
“Bahkan melakukan protes keras tapi tidak didengar, ini arogansi oligarki yang luar biasa mengabaikan hak-hak rakyat, kepentingan rakyat,” katanya.
Selanjutnya, ia mengatakan, ada yang dapat dilakukan untuk melakukan perubahan di tengah terjadinya darurat hukum, oligarki, dan korupsi. Caranya, melakukan gerakan struktural untuk memberikan edukasi kepada publik agar dapat mengerti keadaan bangsa saat ini.
“Publik mesti kritis melihat keadaan hari ini bahwa rakyat mengalami situasi. Ini sangat penting membangun sifat kritis publik, artinya kajian seperti ini tidak boleh berhenti, diskusi oleh mahasiswa atau generasi Z ini tidak boleh berhenti,” imbuhnya.
Tidak hanya itu, kata dia, dapat juga melakukan gerakan yang sifatnya struktural untuk mengingatkan elit kekuasaan yang berada di struktur kekuasaan, baik itu Presiden, maupun anggota DPR.
Ubed juga memandang, gerakan struktural yang berada di struktur kekuasaan serta memiliki kewajiban untuk dapat membenahi persoalan tersebut.
“Presiden jangan diam dong kalau kemudian oligarki merajalela, presiden jangan diam ketika korupsi merajalela, anggota DPR jangan diam ketika hukum sudah kacau. Jadi itu gerakan struktural mengingatkan elit kekuasaan untuk melakukan perubahan,” jelasnya.
Ia menyampaikan jika kedua hal tersebut telah di lakukan, namun tidak ada perubahan, bisa saja sebuah gerakan baru atau social movement menjadi gerakan baru yang revolusioner.
“Tentunya hal itu pun membuat rakyat marah sehingga melakukan hal tersebut, maka tidak ada pihak yang dapat menghentikan kehendak yang dilakukan oleh rakyat dengan caranya mereka sendiri. Jadi gerakan revolusioner itu akibat dari mandetnya aspirasi publik, akibatnya kekuasaan tidak mau mendengarkan rakyatnya,” pungkas Ubed.
Laporan: Muhammad Lutfi