KedaiPena.com – Akademisi Hukum Universitas Indonesia Titi Anggraini menyatakan ada perbedaan terkait munculnya calon tunggal di Pilkada 2024 dengan masa 2015 hingga 2020.
“Jadi, kalau calon tunggal 2015 dilakukan untuk memberikan akses pencalonan kepada partai. Pasca-2015, calon tunggal disertai motif untuk menutup akses pencalonan oleh partai dengan memborong semua tiket dari lebih 10 partai, sehingga partai-partai tersisa tidak mampu mengusung calon. Jadi, agak berbeda nih,” kata Titi dalam salah satu acara, dikutip Senin (9/9/2024).
Ia pun menyatakan jika pada 2015 calon tunggal diperbolehkan akibat putusan Mahkamah Konstitusi untuk menyelamatkan hak pilih, sedangkan pada 2024 terjadi praktik memborong tiket partai politik.
“Pada 2024 ditemukan karakter yang lebih khas dibandingkan 2015 sampai 2020 di mana sentralisasi pencalonan dan hegemoni pengurus pusat partai politik melalui rekomendasi dari DPP yang wajib itu membuat banyak ketidakpuasan di sejumlah daerah akibat adanya keterputusan aspirasi pencalonan,” urainya.
Salah satu yang ia jadikan contoh adalah Pilkada Jakarta 2024, dimana ia menyebut kondisi yang ada sebagai keterputusan aspirasi rakyat.
“Di Jakarta ada Anies Baswedan, dan Ahok. Kok yang dicalonkan lain? Apalagi diimpor dari gubernur provinsi sebelah. Nah, itu yang menjadi problem,” kata Titi lebih lanjut.
Akibat keterputusan aspirasi ini, lanjutnya, muncul lah ekspresi ketidakpuasan dengan adanya gerakan mencoblos semua kandidat.
“Lalu, di daerah-daerah calon tunggal ada gerakan tandingan mendaftarkan kotak kosong setelah calon tunggal didaftarkan. Misalnya di Kota Pangkalpinang, Asahan, Gresik, serta beberapa daerah lain,” ungkapnya.
Ia menyatakan ketidakpuasan tersebut turut membuat suara kosong, kotak kosong, atau gerakan tidak memilih calon tunggal menjadi wacana yang dibahas di ruang publik.
“Pembahasan blank vote, suara kosong, kotak kosong, atau none of the above, saya enggak pilih semuanya, itu menarik untuk dibincangkan karena ini soal formalisasi ekspresi politik yang berbeda bahwa tidak semua ekspresi politik itu dapat diwadahi oleh pasangan calon yang ada di kotak suara,” pungkasnya.
Laporan: Ranny Supusepa