KedaiPena.Com – Akademisi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) Leo Agustinus, menduga big data soal dukungan penundaan pemilu 2024 yang diklaim Menko Kemaritaman dan Investasi (Marves) Luhut Binsar Pandjaitan absurd.
Ia menjelaskan, penelitian menggunakan big data sebenarnya lebih simpel dibandingkan dengan penelitian survei. Dalam big data terdapat tiga hal yang akan melekat, yakni terkait jarak waktu, kata kunci serta platfrom yang digunakan.
“Karena kita bicara big data itu yang sifatnya ilmiah, sehingga dia bisa diuji kembali, ada uji validitas dan reliabilitas. Kalau misalkan pak Luhut berani ya buka saja, kata kuncinya apa, range waktunya kapan dan platfrom apa saja,” ucap Leo, Sabtu (19/3/2022).
Ia menyampaikan perbincangan 110 juta di big data penundaan pemilu 2024 seperti yang disampaikan oleh Menko Luhut merupakan hal yang mustahil.
Hal itu, kata dia, lantaran koleganya pernah melakukan scraping data perbincangan dalam waktu 7-10 hari itu. Saat itu, hanya terdapat 18 juta perbincangan, serta yang membicarakan terkait politik hanya 10 persen.
“Bahkan katanya, tidak terlalu banyak paling ada satu hari 1 persen sampai 5 persen, tapi ada pada saat isu tertentu dia bisa melonjak tinggi tapi di rata-ratakan tidak lebih 10 persen,” katanya
“Pertanyaan kita yang 110 juta ini tempo satu tahun atau 3 bulan atau 6 bulan, tapi perbincangan penundaan pemilu pada sebelum 2022 ini belum menarik, ya menariknya beberapa minggu terakhir,” sambungnya.
Dengan demikian, Ia mengajak, semua pihak untuk dapat melihat hal itu dari aspek lainnya. Seperti aspek, politik dimana terdapat istilah backspace atau politik dibalik layar.
Sehingga, lanjut dia, seharusnya dapat didiskusikan dan mampu memberikan pemahaman kepada publik terlebih dahulu terhadap big data tersebut.
“Analisis dibalik layar itu, sebetulnya kenapa LBP menyampaikan hal seperti itu, apakah betul bahwa 60 persen dari 110 juta itu menghendaki penundaan, secara metodelogi itu dipertanyakan oleh scholar dan saya secara pribadi sepakat dengan itu,” imbuhnya.
Ia mengungkapkan, publik juga harus lebih membuka pemikiran yang jernih dalam mendapatkan dan menerima informasi, terutama terkait big data tersebut.
“Kita sudah dilatih oleh hoax di pemilu 2014 kemudian di tahun 2019 dan kita diguyur hoax tentang COVID-19 dan lain sebagainya,” pungkas dia.
Laporan: Muhammad Lutfi