KedaiPena.com – Ahli Utama Bidang Oseanografi dan Manajemen Pesisir, PRIMA, BRIN, Widodo Setiyo Pranowo mengemukakan terkait rencana Pemerintah Jepang untuk mengizinkan pembuangan air limbah nuklir Fukushima ke laut, perlu dicermati oleh para pemangku kepentingan Indonesia.
“Komisi DPR bersama BRIN sebaiknya melakukan kajian secara komprehensif terkait hal ini,” kata Widodo, Rabu (5/3/2023).
Ia menjelaskan bahwa pemerintah dan BRIN harus mencari tahu secara aktif, bentuk dari limbah yang akan dibuang ke laut tersebut.
“Limbah nuklir yang akan dibuang ke laut nantinya dalam bentuk apakah? Berbentuk cair (liquid) ataukah padatan (solid). Bagaimanakah packaging-nya? Apakah dilindungi oleh kontainer yang sangat tebal dan tertutup rapat? Ataukah langsung digelontorkan ke badan air laut?” tuturnya.
Widodo menjelaskan bentukan limbah itu sangat mempengaruhi potensi pencemaran pada ekosistem kelautan.
“Kekhawatiran yang pertama, apabila liquid atau cair maka probabilitas disebarkan oleh arus kemudian mencemari kemana-mana, bisa terjadi,” tuturnya lagi.
Atau, apabila limbah yang dibuang ke laut tersebut sudah ditempatkan pada drum atau kontainer tertutup rapat.
“Jika llimbah itu sudah dalam drum atau kontainer, maka pertanyaan yang muncul berikutnya adalah kontainer atau drum tersebut akan dibuang ke kedalaman berapa meter atau kilometer. Hal ini penting, untuk memperhitungkan potensi ‘leaking’ atau bocor, sebagai akibat mendapatkan tekanan yang melebihi kapasitasnya,” kata Widodo menjelaskan.
Jika bicara tentang potensi tersebarnya limbah tersebut, ia menyatakan perlu dilakukan simulasi 3D dengan mempertimbangkan sirkulasi massa air laut di Samudera Pasifik Barat hingga ke Lautan Indonesia.
Widodo memaparkan bahwa perairan Laut Jepang di sisi timur adalah terhubung dengan Samudera Pasifik Barat-Daya, dimana massa air pada wilayah tersebut, yang dikenal dengan nama ‘West North Pacific Central Water’ (WNPCW) akan terhubung dengan massa air ‘Indonesia Upper Water’ (IUW) pada kedalaman 0 (nol) hingga 500 meter.
“Artinya, apabila limbah nuklir dibuang pada kedalaman 0 – 500 meter, maka memiliki probabilitas atau peluang bisa ditransportasikan ke perairan Indonesia,” ungkapnya.
Ia menyampaikan, bahwa dirinya pernah menguji disertasi doktoral Sdr. Ali, dengan judul “Perilaku Radiocesium dan Risiko Radiologis pada Lingkungan dan Manusia (Kasus di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia – 573”, di Sekolah Ilmu Lingkungan (SIL) Universitas Indonesia (UI) pada 6 Juli 2019.
“Data di disertasi tersebut cukup menarik. Sampel air yang diambil di perairan Selatan Jawa Samudera Hindia memiliki karakter massa air WNPCW dan IUW. Artinya adalah probabilitas massa air dari Perairan Jepang memang ada, walaupun harus diuji lagi dengan banyak sampel air mewakili setiap musim yang ada,” ungkapnya lagi.
Dan yang menarik lagi, lanjut Widodo, adalah, massa air WNPCW dan IUW dari sampel air tersebut juga mengandung Radiocesium. Radiocesium sendiri adalah unsur/komponen kimia dari Radionuklida.
Disertasi tersebut berkesimpulan bahwa Radiocesium yang dibawa oleh massa air WNPCW dan IUW saat ini adalah bersumber dari ‘Global fallout’ atau bersumber jatuhan dari angkasa atau atmosfer sebagai sisa dari percobaan nuklir masa lalu.
Berdasarkan sirkulasi massa air laut WNPCW dan IUW tersebut, Widodo mengemukakan bahwa wacana pembuangan limbah nuklir di laut Jepang, perlu diwaspadai dan dikaji oleh pemerintah Indonesia.
“Diperlukan tim yang beranggotakan multidisiplin keilmuan atau kepakaran dalam melakukan kajian atau riset tersebut baik oleh Indonesia sendiri maupun kerjasama riset bilateral dengan Jepang,” ucapnya.
Dengan simulasi, lanjutnya, akan bisa terlihat potensi atau probabilitas dari penyebaran limbah tersebut, berdasarkan banyaknya limbah, waktu pembuangan, frekuensi pembuangan, dan berapa lama proses pembuangan itu akan dilakukan oleh Pemerintah Jepang.
“Bisa diuji simulasi, jika dengan skenario sumber limbah sesaat, maupun skenario limbah kontinyu, apakah benar bisa menyebar ke perairan Indonesia dan akan menempuh waktu berapa lama tiba di Indonesia. Kemudian jika disimulasikan jangka panjang, mungkin bisa memberikan gambaran akan berapa lamakah ‘stay’ di perairan pedalaman indonesia sebelum kemudian terangkut oleh arus menuju Samudera Hindia,” pungkasnya.
Laporan: Ranny Supusepa