Artikel ini ditulis oleh Dr. KRMT Roy Suryo, M.Kes, Pemerhati Telematika & Multimedia Independen.
Siang tadi saya menghadiri Forum Diskusi Media yang diselenggarakan oleh Museum Pers Nasional dalan Rangka HPN tahun 2024 di Hotel Grand Sahid.
Acara yang menghadirkan DirJen IKP Kominfo Usman Kansong, Ninuk Pambudy Kompas, Dahlan Dani Tribun, Wahyu Dhyatmika Tempo & Agus Sudibyo Dewas TVRi serta dimoderatori Prita Laura tersebut mendiskusikan topik “AI (Artificial Intelligence) dan Keberlanjutan Media”.
Diskusi yang dapat diikuti juga secara Hybrid melalui YouTube tersebut berlangsung cukup menarik karena sangat related dengan nasib Media yang saat ini mulai “digempur” dengan Teknologi AI disana-sini. Bukan hanya ChatGBT yang mulai populer digunakan, namun Algoritma teknologi Kecerdasan Buatan atau AI ini mulai “mengambil jatah” posisi dan peran pekerja media sesungguhnya dalam melaksanakan tugasnya.
Oleh karena itu, ketika saya sebut nama-nama seperti Anya, Devano, Nadira, Sasya, Bhomi dkk yang mana mereka-mereka ini adalah Presenter AI yang sekarang sering ditampilkan di salahsatu TV swasta dan secara tidak langsung sudah “mengambil alih” tugas penyiar sesungguhnya, masyarakat mulai terbiasa dengan naskah yang sebelumnya masih diketik Reporter Berita, namun selanjutnya diolah dengan Text-to-Voice Synthesizer dan digeneralisasikan ke Model Penyiar 3, sehingga tampak lancar bisa berbicara seperti penyiar sesungguhnya.
Tentu ini berbeda dengan teknologi Audio-Feeding yang sering digunakan oleh presenter sekarang dihampir semua stasiun TV, untuk hanya memandu kata-katanya sesuai naskah yang sudah disiapkan. Karena meski sempat saya tunjukkan secara langsung bentuk dari “alat canggih” yang bisa dipasang dibalik kerah baju (atau jaket) yang digunakan agar tidak tampak, namun kalau sekedar Neck Bone-conducted Speaker tersebut masih belum tersambung dengan AI. Alias masih bisa dibimbing orang biasa dengan koneksi bluetooth atau WiFi agar kalimat-kalimat presenter (atau peserta debat) tampak “pintar” dalam berkata-kata, padahal dia sebenarnya hanya “dibisikin” alias dipandu dari jauh.
Karena besok-besoknya jika teknologi AI-pun sudah bisa mengambilalih peran pembisik tersebut, maka tidak lagi diperlukan Wireless Receiver (yang dimasukkan dalam “Bantal Kesehatan” alias Pampers 5.0). Dalam diskusi juga terungkap, bahwa sekarang sudah mulai digunakan hal tersebut utk pembuatan sebuah berita, karena cenderung makin memudahkan redaktur untuk mengolah sebuah pemberitaan dibandingkan dengan masa-masa dimana semuanya masih harus digunakan cara-cara manual atau tradisional.
Saat ini, teknologi AI memang sangat memangkas proses atau mekanisme pemberitaan, bahkan dimungkinkan bahwa Redaktur tinggal “mengarahkan” saja berita yang akan dibuat. Karena AI bisa “mengisi” redaksi yang harus ditulis tanpa repot-repot lagi menuliskannya. Meski demikian, saat ini mulai muncul kesalahan-kesalahan AI yang ternyata bisa mencuplik data-data yang meleset, bahkan salah orang, sebagaimana kasus-kasus di Australia dan Amerika baru-baru ini. Dimana sampai terjadi “berita” yang dibuat ternyata terbukti tidak pernah benar-benar terjadi secara fakta, alias hoax sesungguhnya yang diproduksi secara otomatis menggunakan AI.
Inilah yang harus segera diantisipasi oleh (Pemerintah) Indonesia, karena ketertinggalan regulasi tentang AI seperti ini bisa jadi sangat merugikan untuk masyarakat nantinya. Karena sebagaimana keterlambatan UU-ITE (2008) saat itu, yang saat ini meski sudah tiga kali direvisi, malah banyak merugikan masyarakat karena sering salah menerapkannya dan bahkan menjadi “alat penguasa” untuk membungkam pendapat kritis mayarakat. Belum lagi kalau AI digunakan secara nir-etika alias tanpa mempergunakan norma yang ada. Misalnya kemarin digunakan untuk kepentingan politik “menghidupkan kembali” sosok yang sudah wafat untuk kampanye partai dan membuat “Suara Palsu” yang seolah-olah ketua partai sedang “memarahi” salah satu capres, yang jelas-jelas hoax.
Saat ini, menurut DirJen IKP, sedang ada pembuatan Strategi Nasional 2020-2045 tentang AI yang diusulkan oleh BRIN, yang setidaknya bisa untuk membuat Keppres khusus mengantisipasi kemajuan AI tersebut dan (kemungkinan) revisi atas undang-undang yang saat ini belum ada pengaturan soal AI didalamnya. Misalnya UU Hak Cipta dimana didalamnya banyak soal copyright dan publishing right yang bisa terkait dengan penggunaan AI. Intinya memang Negara harus cepat bergerak dan jangan abai karena adanya perkembangan AI yang bisa mengimbas ke masyarakat ini.
Kesimpulannya, AI adalah keniscayaan yang harus dihadapi manusia dan terjadi sesuai perkembangan teknologi itu sendiri, dimana di era Society 5.0 semuanya terjadi, mulai dari era Robot, IoT (Internet of Thing), hingga AI (Artificial Intelligence). AI akan menjadi hal yang disebut “Frienemy” alias Friend sekaligus “Enemy“, alias kawan sekaligus lawan, dimana sisi positif dan negatif akan bisa terjadi secara bersamaan dan sekaligus dialami oleh manusia. Suka tidak suka pasti akan terjadi, ini “Keniscayaan AI” yang saya sebutkan tadi dalam acara diskusi.
Jakarta, 29 Januari 2024
[***]