SELASA, 21 Februari 2017, ummat Islam kembali turun ke jalan. Dibandingkan dengan beberapa aksi yang melibatkan massa dalam jumlah (sangat) besar sebelumnya, aksi yang juga disebut-sebut sebagi aksi 212 jilid dua ini memang berbeda. Sasarannya tidak lagi Istana, Monumen Nasional (Monas), Bunderan HI atau masjid Istiqlal. Inisiatornya pun tidak lagi Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) MUI.
Aksi ummat Islam kali ini dikomandoi oleh Forum Ummat Islam (FUI) dengan Muhammad Al Khoththoth sebagai Sekjen. GNPF-MUI dan FPI sudah menyatakan tidak ikut dengan aksi kali ini. Lokasi aksi langsung ke gedung DPR/MPR di Jl Gatot Subroto. Jumlah massa diperkirakan ‘hanya’ 10.000an. Bandingkan dengan aksi aksi 4 November (411) jumlah massa ditaksir sekitar 2,3 juta jiwa dan 2 Desember (212) yang diklaim mencapai 7,5 juta orang.
Tuntutan para demonstran juga lebih beragam dibandingkan dua aksi sebelumnya yang hanya penjarakan Ahok. Kali ini, tuntutannya adalah berhentikan sementera gubernur terdakwa, stop kriminalisasi ulama, stop penangkapan mahasiswa, dan penjarakan penista agama.
Sampai tulisan ini dibuat, sejumah televisi swasta melaporkan aksi masih berlangsung. Televisi juga menayangkan beberapa pimpinan dan perwakilan massa diterima Komisi III DPR. Sementara di luar gedung milik rakyat itu, dari balik pagar massa memenuhi jalan gatot Subroto. Tayangan dari drone menunjukkan ekor massa sebelah kiri sampai bawah jembatan layang jalan Gerbang Pemuda (TVRI). Sedangkan di sebelah kanan, hampir mencapai fly over Slipi. Saya menduga, jumlah massa tembus 15.000 orang.
Tanpa bermaksud menafikan aksi-aksi massa yang massif tersebut, tampaknya para tokoh ummat perlu melakukan evaluasi ulang. Mengangkat tema penistaan agama yang dilakukan Ahok sebagai isu utama memang bagus. Ia terbukti berhasil membangkitkan ghiroh atau emosi keagamaan ummat. Buktinya, jutaan ummat Islam dari beragai penjuru Indonesia berbondong-bondong datang.
Kok bisa?
Meski demikian, fakta bahwa Ahok memenangi Pilakada DKI putaran pertama dengan suara hingga 2,357 juta suara atau 42,91% perlu juga menjadi perhatian. Sedangkan pasangan Anies-Sandi menempel di 2,2 juta suara atau 40,05%. Memang, angka 42% lebih itu dipastikan hanya bisa diraih Ahok dan timnya dengan curang. Ya, hanya dengan kecurangan yang massif, terstruktur, dan sistematis yang membuat gubernur bermulut jamban itu bisa memenangi Pilkada putaran pertama 15 Februari silam.
Tapi sekali lagi, bahwa dia unggul adalah fakta yang tak terbantahkan. Pertanyaannya, mengapa hal itu bisa terjadi? Ingat, tidak kurang 7,5 juta ummat Islam tumplek-bleg ke Monas dan sekitarnya untuk menuntut gubernur bengis yang menggusur rakyatnya dengan semena-mena itu dipenjarakan, lho…
Tentu saja, tidak semua yang 7,5 juta itu muslim DKI. Sebagian datang dari seantero negeri. Katakanlah, ummat Islam non Jakarta sekitar 30%, maka masih ada angka sekitar 5 juta muslim. Katakanlah, mereka membagi dua sama rata dengan Paslon gubernur muslim lain, Agus-Silvy, maka masing-masing mengantongi 2,5 juta suara. Jelas, jumlah ini mengalahkan suara yang Ahok yang 2,3 jutaan saja.
Tapi, faktanya kan tidak begitu. Ahok dan tim curang, ya itu pasti.
Cuma, kemana semangat jihad ummat yang menggelegak seperti pada aksi-aksi dahsyat itu? Apa yang terjadi? Apakah sebagian dari ummat yang ikut aksi itu, maaf, juga telah menukar suaranya dengan dana yang ditabur Ahok dan timnya? Maklum, para bandar gubernur minim prestasi itu tidak segan-segan menggelontor dana dalam jumlah yang nyaris tak terbatas. Kalau hanya menyumpal kocek pemilih dengan Rp500.000 hingga Rp1 juta/suara itu soal kecil. Bahkan gosip yang beredar menyebutkan, konon, money politic itu mencapai Rp3 juta/suara.
Sampai di sini, sepertinya kita harus bicara soal militansi. Jutaan ummat yang tempo hari tumpah-ruah dalam aksi-aksi, sekali lagi, maaf tidak mampu membuktikan konsistensinya. Dalam bahasa agama, ummat tidak istiqomah. Fakta menangnya Ahok adalah penjelasan yang paling logis mengenai soal ini.
Di sisi lain, para pendukung Ahok justru sangat ‘militan’, paling tidak kita sebut lebih konsisten. Kalangan nashrani (kristen dan katholik) sebagai hasil sebuah survei partisan, bisa disebut hampir seluruhnya memilih Ahok. Begitu juga dengan etnis Cina, mayoritas mereka memilih Ahok. Di TPS Mall of Indonesia (MOI) Kelapa Gading, misalnya, orang-orang Cina entah warga dari mana rela antre panjang mengular setelah pukul 13.00 untuk mencoblos. Padahal, sesuai aturan, pemungutan suara berakhir pada pukul 13.00.
Sementara, tanpa melibatkan massa aksi bela Islam tadi, ummat Islam justru sudah terbelah. Tidak sedikit yang menjadi tim sukses, pendukung, dan pemilih si kutu loncat politik tersebut. Hebatnya lagi, sikap ini tetap mereka pertahankan hingga ke bilik suara.
Memang, motivasi dan latar belakang mereka bisa bermacam-macam. Ada yang ilmu agamanya minim alias kaum abangan. Ada juga yang ‘profesional’; maksudnya, mereka yang dibayar sesuai jasanya; mulai pengumpul KTP, jadi tim sukses, perusahaan survei sekaligus konsultan politik, para buzzer alias teroris medsos, penyebar brosur/buku/pamflet, pasukan ‘serangan fajar’ yang membagi-bagikan uang, tim PR dan kampanye, juragan dan pimpinan media, sampai para penggembira yang memperoleh upah secara insidental.
Jadi, apa yang salah? Di mana salahnya? Cukupkah isu (penistaan) agama dijadikan modal untuk menumbangkan Ahok?
Maaf, yang salah ya ummat Islam sendiri, khususnya para tokohnya. Fakta menangnya Ahok di putaran pertama membuktikan isu agama tidaklah cukup. Kaum Islam abangan, baik di level grass root apalagi kelas menengah-atas, jelas tidak ‘memakan’ isu agama ini. Sampai di sini, media bayaran dan para pengekornya telah sukses memompakan opini ke benak mereka, bahwa Ahok adalah sosok yang bersih, anti korupsi, dan pahlawan pembasmi koruptor. Mereka juga disihir, dengan sejumlah kinerja sang gubernur yang seolah-olah sukses membangun Jakarta.
Nah, opini serba positif dan hebat buah karya media massa inilah yang punya peran penting memenangkan Ahok. Para korban proyek pencitraan tersebut, dengan senang hati menjagokan dan mengidolakan si petahana. Kisah bagaimana lelaki dari etnis minoritas yang menjadi tirani atas mayoritas itu tanpa perasaan menggusur warganya tidak lagi penting. Mereka juga tidak peduli, idolanya memaki dan menuduh maling rakyatnya, menyemburkan kata-kata kotor dan kasar, tersangkut berbagai kasus korupsi, dan lainnya.
Modal penting itu menjadi sangat ampuh ketika dikombinasi dengan berbagai kecurangan yang massif, terstruktur, dan sistematis tadi. Para bohir memang gagal mengantarkan Ahok kembali ke kursi gubernur dalam satu putaran seperti yang digembar-gemborkan. Tapi, mereka akan belajar dari ‘kegagalan’ tersebut agar tidak terulang pada putaran kedua.
Ganti strategi
Para pejuang penyelamat Jakarta dan Indonesia harus mulai mengubah strateginya. Para tokoh ummat, kyai, ulama, ustadz, dan siapa saja, mau tidak mau harus menambah konten dakwahnya. Jadikan kasus-kasus korupsi dan hukum yang melibatkan Ahok sebagai menu tambahan. Sadarkan ummat dan rakyat, bahwa sosok bersih, anti korupsi, dan serba hebat Ahok hanyalah produk rekayasa media.
Sampaikan juga kepada ummat, bahwa Jakarta dan juga Indonesia membutuhkan pemimpin yang benar-benar bersih, amanah, dan tidak khianat; bukan hasil proyek pencitraan media. Ibu kota dan Indonesia perlu pemimpin yang punya empati dan layak dijadikan teladan.
Tambahkan juga dengan aksi nyata ke pusat-pusat penegak hukum secara intens dan terus-menerus, berkelanjutan. Datangi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan, dan Kepolisian. Minta dan tagih mereka untuk menuntaskan kasus-kasus korupsi yang melibat Ahok. Kasus taman BMW, mark up pembelian bus Trans Jakarta, pembelian lahan RS Sumber Waras, pembelian lahan milik sendiri di Cengkareng dan eks Kedutaan Inggris, aliran dana dari pengembang untuk Teman Ahok dan dana Pilkada, dan lainnya.
Ingatkan juga ummat dan warga DKI, bahwa si petahana sangat serampangan dalam mengelola anggaran. Dengan dalih diskresi, dia membarter kekuasaannya dengan dana-dana dari pengembang tanpa transparansi, tanpa akuntabilitas.
Pesan-pesan kunci semacam ini relatif lebih bisa diterima kaum Islam abangan tadi. Biar bagaimana juga, baik yang di kalangan bawah maupun kelas menengahnya, tetap saja rindu hadirnya pemimpin yang betul-betul bersih, punya integritas, mengerti dan mampu memecahkan masalah. Jumlah mereka lumayan besar, lho.
Pada titik ini, harus diakui, perjuangan menyelamatkan Jakarta dan Indonesia dari tangan-tangan kotor dan rakus di belakang Ahok memang tidak mudah. Buat yang gampang putus asa, bisa jadi pekerjaan ini masuk kategori mustahil. Betapa tidak, ibarat bertanding sepak bola, lawan sudah menguasai semua lini.
Dengan dana yang tidak terbatas, mereka bisa membeli supporter berlimpah ruah, wasit, hakim garis, tukang pemungut bola di pinggir lapangan, media, aparat hukum, bahkan juga membeli pemilik lapangan.
Berdoa kepada Allah Yang Maha Kuasa jelas wajib. Itu harus, tidak bisa tidak. Tapi, berdoa dan berdoa saja (maaf, seperti yang ditampilkan pada beberapa aksi) apakah cukup?
Oya, sekadar menyegarkan ingatan. Dulu, Soeharto yang 32 tahun berkuasa, yang sangat kuat itu, yang amat disegani di dunia internasional khususnya ASEAN itu, yang tentara dan polisinya sangat solid itu, bisa jatuh hanya dengan 150.000an massa, lho. Tidak perlu sampai jutaan… (*)
Jakarta, 21 Februari 2017
Edward Mathens, pekerja sosial, tinggal di Jakarta