SITUASI politik DKI Jakarta semakin memanas karena gelaran pertarungan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak akan dimulai. Khususnya DKI Jakarta, Pilkada akan diselenggarakan pada Februari 2017. Calon yang saat ini masih mencuat yaitu Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama yang sebelumnya menyatakan maju menggunakan jalur perseorangan.
Namun, komitmen tersebut tergeser karena dalam Pilkada DKI Jakarta 2017 Basuki akan bertarung melalui jalur partai politik.
​
Masih segar ingatan akan hujatan dan makian yang dilontarkan Ahok terhadap parpol yang cenderung transaksional. Maka, istilah mahar politik seakan sudah menjadi rahasia umum jika ingin mendapat rekomendasi parpol dalam sebuah pilkada.
Krisis kepercayaan terhadap parpol tersebutlah yang menginisiasi rakyat Jakarta secara sukarela memberikan Kartu Tanda Penduduknya (KTP) untuk mendukung sang Gubernur melalui jalur independen. Hasilnya luar biasa, sebanyak 1 juta ktp berhasil terkumpul.
Artinya, jumlah tersebut sudah melebihi aturan undang-undang, minimal 532.213 lembar ktp sebagai syarat mengikuti pilkada DKI Jakarta melalui jalur perseorangan.
Lalu pertanyaannya, mengapa mantan Bupati Belitung Timur tersebut seringkali tidak konsisten dengan ucapannya sendiri?
Bahkan yang terbaru upaya Judicial Review UU Pilkada yang coba diajukan Ahok yang menolak cuti selama masa kampanye seakan menggelitik ingatan kita, karena pada pilkada DKI tahun 2012 dengan tegas ia meminta Petahana saat itu Fauzi Bowo untuk cuti karena khawatir menggunakan fasilitas Negara.
“Kita tidak takut. Kita hanya ingin menjadikan Jakarta sebagai contoh, dimana para calon gubernurnya taat aturan, yang incumbent saat kampanye dalam mengambil cuti,” ujar Ahok usai diskusi publik debat cagub di Universitas Al-Azhar, Jalan Sisingamangaraja, Jakarta Selatan, Rabu (6/6/2012) silam.
Hari ini dengan alasan ingin menjaga APBD ia menolak cuti, apakah ini hanya strategi politik Ahok semata agar dirinya terus mendapat perhatian dari Rakyat Jakarta? ungkapan †jika kebohongan yang diproduksi terus-menerus maka kebohongan tersebut akan menjadi kebenaran†sedang diterapkan oleh Ahok, seperti cara-cara yang digunakan orde baru dalam memberangus lawan politiknya.
Jika kita amati sepak terjangnya, Ahok seakan dikondisikan untuk terus mencari musuh politik agar perhatian kepada dirinya tidak berhenti.
Gubernur “Caper†mungkin bisa kita sematkan padanya, keuntungannya dapat kampanye gratis dan terselubung di media. Karena saat Presiden Jokowi mengintruksikan situasi politik tidak gaduh karena dapat mengganggu arus investasi, namun mengapa kegaduhan dibuat oleh Ahok tidak mengganggu investor.
Salah satunya mega proyek reklamasi teluk Jakarta senilai 540 triliun rupiah atau setara dengan 40 miliar USD.
Maka dari itu jangan terlalu serius menanggapi segala ucapan Ahok, karena saat ia berucap pagi hari, bisa saja di sore harinya ia lupa dengan ucapannya tersebut. Jika Jokowi adalah petugas partai, mari kita tempatkan Ahok sebatas petugas pengembang.
Oleh sebab itu lawan kita hari ini bukan para petugasnya, tetapi bos yang menugaskannya yakni para pengembang di teluk Jakarta.
Reklamasi, Penggusuran dan Kemiskinan
Kebijakan Basuki Tjahaja Purnama dalam melakukan reklamasi di Teluk Jakarta yang bekerja sama dengan pengembang yaitu Muara Wisesa Samudra (anak perusahaan APL yang menyuap M Sanusi), PT. Pelindo II, PT. Mangala Krida Yudha, PT. Taman Harapan Indah, dan PT. Jaladri Kartika Ekapaksi.
Lima pengembang ini masing-masing mendapatkan izin atas satu pulau. Kemudian empat pengembang lainnya yang terdiri dari PT. Jakarta Properindo (2 pulau), PT. KEK Marunda (2 pulau), PT. Pembangunan Jaya Ancol (4 pulau), dan PT. Kapuk Naga Indah (5 pulau). PT. Kapuk Naga Indah yang mengembangkan lima pulau merupakan anak perusahaan Agung Sedayu Group.
​Mega Proyek 17 pulau dari A sampai Q ini membutuhkan 330 juta meter kubik pasir laut/tanah untuk menimbun laut seluas 6867 hektare. Landasan hukum yang digunakan oleh Pemprov DKI Jakarta yakni Keputusan Presiden No.52 tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta, tahun 2014 Gubernur DKI menerbitkan Surat Keputusan Gubernur No.2238 yang mengizinkan reklamasi pulau G oleh PT Muara Wisesa Samudera, dan di tahun 2015 tahap awal pengembangan pulau-pulau reklamasi dilakukan.
Dari aspek hukum, ternyata proyek ini sudah bermasalah dengan diabaikannya ketentuan perundang-undangan, pertama Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3 Tahun 2010 mengenai Uji Materi UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil terhadap UUD 1945. Kedua, UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Kemudian ketiga, UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 27 Tahun 2007.
​Mirisnya lagi, para pengembang tersebut tidak memikirkan nasib warga yang tinggal di pesisir DKI Jakarta. Menurut Pusat Data dan Informasi KIARA pada 2016 tercatat, 56,309 nelayan pesisir tergusur. Selain itu, menghancurkan ekosistem pesisir akibat menurunnya daya dukung lingkungan dan meningkatnya ancaman banjir, dan rusaknya sumber daya di kawasan penyangga kabupaten atau kota pantai yang di reklamasi.
Selain itu, penggusuran juga kerap terjadi di tengah kota Jakarta, penggusuran tersebut diindikasi melibatkan pengembang, menurut pemimpin redaksi Koran Tempo Daru Priyambodo mengatakan, data yang menyebutkan, dana penggusuran dari Agung Podomoro Land sangat valid.
Penyidik KPK menemukan adanya memo yang ditandatangi Ahok meminta Agung Podomoro Land untuk membiayai penggusuran Kalijodo di Penjaringan, Jakarta Utara. Dalam memo itu disebutkan, Direktur Utama Ariesman Widjaja mengeluarkan Rp 6 miliar untuk biaya penggusuran di kawasan Kalijodo yang kebetulan bersebelahan Kanal Banjir Barat.
KPK secara tidak langsung membenarkan data yang telah diungkap koran Tempo terkait adanya dana barter termasuk untuk penggusuran dalam kasus reklamasi. (Tempo 19 Mei 2016,Dana Penggusuran, Data Tempo dan KPK Sama)
​Besarnya investasi di proyek reklamasi teluk Jakarta Berdasarkan hitung-hitungan Ahok, keuntungan yang didapat Pemprov DKI bisa mencapai Rp 178 triliun.
“Reklamasi kalau saya hitung itu kalau jadi, langsung jual tanah saja bisa dapat Rp 48 triliun. Di luar tanah Rp 28 triliun. Berarti ada Rp 76 triliun uang di situ. Kalau dia jualnya 10 tahun, setahun hanya 10 persen, kita bisa dapat Rp 178 triliun,” kata Ahok di Balai Kota, Rabu (25/5/2016).
​Namun kenyataannya hari ini berbanding terbalik, hitung-hitungan dengan model mengelola perusahaan yang digunakan Pemprov dari proyek reklamasi tidak memberikan dampak perekonomian bagi Rakyat, hal ini dibuktikan dengan meningkatnya angka kemiskinan di Jakarta, dalam situs resmi BPS, disebutkan penduduk miskin DKI Jakarta pada bulan Maret 2016 sebesar 384.30 ribu orang alias 3,75 persen.
Jumlah penduduk miskin meningkat sebesar 15,63 ribu atau meningkat 0,14 persen dibanding September 2015 yang tercatat ada 368,67 ribu orang alias 3,61 persen.
​Dari fakta-fakta yang ada, sudah sepantasnya kita mempertanyakan manfaat dari para pengembang mega proyek reklamasi ini. Jika orientasi pemerintah pusat dengan konsep poros maritim dan pemerataan dengan membangun dari pinggiran yang tertuang dalam Nawa Cita, kita dapat simpulkan proyek reklamasi ini sangat bertolak belakang.
Mengapa demikian, Pertama, sebagai negara maritim Indonesia tidak kekurangan pulau-pulau untuk dikembangkan. Jumlah pulau kita sekitar 17.508, artinya begitu besar potensi pengembangannya. Kedua, pemerataan pembangunan tidak terjadi, investasi proyek reklamasi yang mencapai 540 triliun rupiah tersebut masih dipaksakan untuk terakumulasi di Ibu Kota yang sudah kelebihan beban. Ketiga, kebijakan pemerintah yang berorientasi pada pembangunan ekonomi memunculkan kesenjangan sosial yang makin lebar, karena meletakkan kepentingan pengembang diatas kepentingan Rakyat dan kepentingan Negara.
Oleh Ketua Liga Mahasiswa Nasional Demokratik (LMND) Jakarta, Tintus Formancius