KedaiPena.Com – Direktur Eksekutif Jaringan Anak Nusantara (Jaranan), Nanang Djamaludin, menilai Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok telah gagal menciptakan solusi yang beradab bagi permasalahan sampah yang dihasilkan oleh Jakarta.Â
Ahok masih berkubang dalam paradigma lama penanganan sampah, yakni sampah Jakarta oleh Ahok diselesaikan secara simpel dengan membuangnya ke Bantargebang Bekasi.
Padahal dalam rentang waktu selama 30 tahun pembuangan sampah Jakarta ke Bantargebang Bekasi itulah telah berdampak luar biasa bagi warga Bantargebang, khususnya di tiga kelurahan paling berdampak, yakni Bantargebang, Ciketing Timur, Sumur Batu dan Cikiwul.
Bahaya yang ditimbulkan akibat solusi simpel ala Ahok terkait persoalan sampah yang adalah terus berlangsungnya proses penghancuran budaya asli masyarakat setempat dalam rentang 30 tahun terakhir, rusak parahnya ekosistim dan lingkungan hidup masyarakat setempat, serta pudarnya visi dan orientasi gaya hidup sehat-alamiah secara berkualitas di tengah masyarakat yang terdampak pencemaran gunungan sampah.
Dengan begitu secara paradigmatik, lanjut Nanang, penanganan dan pengelolaan sampah Jakarta oleh Ahok tak ada yang istimewa.
“Merekrut para petugas PPSU dan pasukan jaga kali untuk membersihkan sampah di jalan-jalan dan sungai-sungai ibukota, sebenarnya bukan termasuk kategori hal prestatif yang dilakukan Ahok. Lagi pula tak cukup seperti itu seharusnya permasalahan sampah diatasi seorang Gubernur DKI Jakarta,” ujar Nanang yang juga penggiat di Komunitas Intelektual Aktivis 98 (KIAT 98) dalam sebuah acara pemutaran film dan diskusi memperingati 30 tahun beroperasinya TPA Bantargebang di Restoran Wulan Sari Kota Bekasi, Rabu (12/10).
Di sisi lain, dalam pandangan Nanang, Pemkot dan DPRD Kota Bekasi yang semestinya bisa berbuat lebih banyak untuk melindungi dan memajukan hak-hak rakyat yang terdampak di wilayah Bantargebang, ternyata tak memiliki kepekaan sosial atas pelbagai masalah yang dihadapi warga yang hidup bertahun-tahun di sekitar gunung-gunung sampah Bantargebang.
Sementara itu, pemuda pribumi asli wilayah Bantargebang, Agus Hadi Prasetyo, dari Aliansi Masyarakat Peduli Pendidikan (AMPP), mengajukan konsep yang disebutnya sebagai “tukar sampah dengan pendidikan”.Â
Konsep itu merupakan formula tuntutan kompensasi atas dampak multidemensi yang ditimbulkan dari beroperasinya TPA Bantargebang selama 30 tahun terakhir. “Pemprov DKI harus memenuhi lima tuntutan warga, ” cetusnya.
Tuntutan itu, lanjutnya, adalah pembangunan gedung sekolah khusus bagi warga Bantargebang dari tingkat SD-SMA yang berstandar internasional, pembebasan seluruh biaya operasional sekolah dan menyediakan sarana angkut massal/bus sekolah di masing-masing kelurahan.Â
“Selain itu, Pemprov harus melakukan pengadaan program beasiswa untuk pelajar berprestasi di jenjang universitas; 5) penyelenggaraan program kejar paket A, B, C secara gratis,” tandasnya.
(Prw)‎