MASALAHNYA sangat sederhana, Ahok calon gubernur PDIP, Presiden Jokowi dan Mendagri Tjahjo dari PDIP. Wajar mereka sebagai petugas partai berusaha dengan berbagai cara, bahkan kalau perlu melanggar konstitusi, atau melawan logika hukum berkembang di masyarakat.
Mereka tidak akan menahan terdakwa Ahok dan tidak memberhentikan Ahok dari jabatan gubernur DKI walaupun sudah jadi terdakwa penistaan agama, walau sudah banyak yurisprudensi untuk kasus yang sama.
Sangat wajar jika PDIP membela, begitu juga dengan para ‘participant’, Jokowi maupun Ahok, tinggal memilih, mendukung garis partai dalam mendukung Ahok, atau keluar dari partai jika tidak setuju. Begitu juga pendukungnya mau jabatan atau dicabut dari jabatan apapun.
Tapi mereka lupa bahwa kekuasaan itu ada batas waktunya, keberpihakan terhadap pelanggaran itu dicatat oleh rakyat.
Pada Pemilu 2014 PDIP cuma 18% tidak besar-besar amat. Yang 10 persen pemilihnya tradisional Soekarnoisme dan non muslim (Kristen, Hindu, Budha) dan atheis.
Sedangkan yang 8 persen pemilih adalah muslim. Begitu juga dengan pilpres, Jokowi menang 52 persen, pemilih muslimnya 40 persen. Jika sekarang terlalu berpihak dengan berbagai cara termasuk “memusuhi” dan mem-‘bully’ ulama Islam, tahun 2019 dipastikan PDIP dan Jokowi akan ke laut.
Manakala rakyat sudah tersinggung, itupun hukumanya sangat sederhana. Sebagai bukti Demokrat yang 26 persen tahun 2009, di pemilu 2014 mereka anjlok menjadi 10 persen.
Oleh Syafril Sjofyan, Pengamat Kebijakan Publik