KEDEKATAN dengan rakyat bukan hanya ditunjukkan dengan pencitraan. Tidak cukup hanya dengan semacam menerima pengaduan rakyat setiap hari di halaman Balaikota, atau mengunjungi hajatan pernikahan warga setiap minggu. Sehingga nantinya bisa selfie-selfie, kembali pencitraan.
Seharusnya kedekatan seorang pemimpin dengan rakyatnya, dapat diukur dari mampu tidak dirinya menghasilkan kebijakan yang menguntungkan rakyat banyak. Jadi bukan hanya hasilkan kebijakan yang menguntungkan orang kelas menengah dan kaya raya. Apalagi kedapatan terus mengejek rakyat miskin yang tergusur.
Gubernur DKI Jakarta non aktif Basuki (Ahok) punya pantai pribadi dan juga pulau pribadi di kampungnya. Dirinya berasal dari kelas yang kaya raya di Belitung, tidak pernah merasakan apa itu kesulitan hidup, digusur dan dihinakan Negara selama pertumbuhannya menjadi dewasa. Adik-adiknya pun hidup dengan enak.
Basuri, setelah mengulang kegagalan Ahok dahulu di Pilgub Bangka Belitung, kabarnya kini menjadi pegawai dari salah satu taipan property, Jababeka. Fifi, adik bungsu Ahok, menjadi pengacara yang mengurusi perusahaan cangkang di Panama. Mungkin karena berlatar dari kelas kaya raya itulah, Ahok santai saja menggusur banyak rakyat kecil selama hampir dua tahun menjadi Gubernur DKI.
Saat menggusur perkampungan itulah, terkadang kita lihat Ahok memunculkan karakter aslinya yang cenderung neofasis. Paling pertama, ciri dari para penganut neo-fasis adalah mereka sangat anti komunis. Ahok pernah menuduh warga korban gusuran sebagai komunis, hanya karena warga memutuskan melawan.
Berikutnya lebih sadis lagi. Ahok pernah berkata akan menyemprot demonstran dengan bensin. Selain itu pernah juga Ahok menyatakan siap membunuh ribuan orang untuk kepentingan jutaan orang. Watak neofasis ini terjadi lagi di social media, saat para buzzer Ahok menyuarakan agar umat muslim yang terlalu fanatik dipindahkan saja hidup di Timur Tengah. Jelas sebuah cara propaganda yang sama dengan yang dilakukan gerakan-gerakan politik neofasis di Eropa dewasa ini.
Apakah saking terlalu nyamannya hidupnya, Ahok seolah tidak belajar dari sejarah kemanusiaan yang berdarah-darah?
Kembali ke soal penggusuran. Kemudian tanah yang sudah “dibebaskan†oleh TNI, Polisi, dan Satpol PP tersebut disewakan atau dijual murah oleh Ahok ke perusahaan-perusahaan pengembang. Ahok sudah memperkaya pengembang, setelah sebelumnya memiskinkan rakyat kecil. Menegaskan dirinya memang benar bagian dari kelas elit tersebut, saat ini Ahok tinggal di kawasan elit di Pantai Utara Jakarta bertetangga dengan bos-bos pengembang dan orang-orang terkaya dari seluruh Indonesia.
Bahkan dahulu waktu dia masih pede-pedenya, saking akrabnya dengan taipan-taipan pengembang, Ahok santai saja ketika di media sosial dijuluki sebagai Gubernur (pengembang) Podomoro. Yang lebih satir lagi, lahir julukan Ahok sebagai Bapak Reklamasi (maksudnya dipleset-sandingkan dengan Bung Karno sebagai Bapak Proklamasi) dan sebagai Pangeran Di-Podomoro (maksudnya dipleset-sandingkan dengan Pahlawan dari Abad ke 19 Pangeran Diponegoro).
Bagi buruh, julukan Ahok adalah Bapak Upah Murah. Menurut pimpinan salah satu serikat buruh terbesar, upah minimum provinsi (UMP) yang ditetapkan Ahok sebesar Rp 3,1 juta untuk DKI Jakarta masih terlalu rendah bila dibandingkan dengan tuntutan serikat (Rp 3,75 juta). NIlai UMP DKI yang ditetapkan Ahok ini juga lebih rendah dari UMP daerah lain seperti Bekasi (Rp 3,2 juta) dan Karawang (Rp 3,3 juta). Padahal sudah jelas bahwa tingkat kebutuhan hidup di DKI Jakarta pasti lebih mahal dari kedua daerah tersebut! Ini artinya kebijakan Ahok saat menjadi gubernur tidak berpihak kepada kepentingan kelas buruh di DKI Jakarta, dirinya lebih berpihak pada kelas orang-orang kaya pemilik pabrik.
Selain kelas buruh, kelas masyarakat yang banyak terdampak dari kebijakan Ahok adalah kaum miskin kota (atau lumpen). Profesi-profesi yang umum mereka geluti dahulu, seperti joki three in one, PSK, dan PKL banyak dihilangkan oleh Ahok. Sebagian masyarakat korban gusuran menjadi kehilangan mata pencaharian ketika dipaksa menyewa rumah susun yang letaknya terpencil jauh dari akses.
Kita masih ingat dahulu Jokowi mencanangkan pembangunan “kampung-kampung susun†di sekitar lokasi gusuran di seluruh DKI Jakarta. Sebuah kebijakan yang lebih beradab bagi korban gusuran. Tapi dengan berbagai alasan yang tidak masuk akal, Ahok menghentikan sama sekali proyek peninggalan Jokowi terbur. Dan ia menggantinya dengan pembangunan menara-menara rumah susun yang yang didanai secara off-budget oleh para pengembang.
Semua dampak dari kebijakan Ahok bermuara pada ketidakadilan sosial. Telah terjadi ketimpangan pendapatan yang cukup akut di DKI Jakarta. Pada Mei 2016, BPS mengumumkan bahwa indeks gini DKI Jakarta meningkat dari 0,43 (tahun 2014) menjadi 0,46 (tahun 2015). Artinya selama setahun itu, dari 2014 hingga 2015, Ahok telah gagal mewujudkan keadilan sosial bagi rakyat kecil di DKI Jakarta. Ahok gagal mengemban amanat Sila Kelima Pancasila. Karena kini yang tersisa di Jakarta hanyalah ketidakadilan sosial.
Manifestasi dari ketidakadilansosial ini lah yang kemudian meletup di tanggal 4 November malam di Jakarta Utara. Menjadi sebuah aksi “perang kota†yang dilancarkan warga kaum miskin kota melawan aparat gabungan di Penjaringan, Jakarta Utara. Dekat rumah Ahok. Dengan semua rekam jejak anti rakyatnya selama menjadi gubernur DKI Jakarta tersebut. Tidak berlebihan bila kita anugerahi juga Ahok sebagai Bapak Ketidakadilan Sosial.
 Oleh Iskra, Pemerhati Sosial