BASUKI Tjahaya Purnama alias Ahok boleh saja menjadi pesakitan pada sidang kasus penistaan agama. Tapi hal itu tidak otomatis menutup peluangnya untuk memenangi Pilkada DKI Jakarta pada 2017. Pasalnya, banyak pihak yang berkepentingan dengan dia pasti akan berjuang ekstra keras untuk mengantarkannya menjadi Gubernur sekali lagi. Untuk itu, Ahok harus menang satu putaran!
Berikut ini beberapa langkah yang paling mungkin mereka tempuh untuk memenangkan pertarungan tersebut.
Pertama, memborong semua perusahaan polling alias survei. Langkah ini mereka tempuh dengan maksud mengulang kisah sukses Jokowi Effect pada Pilpres 2014 silam. Salah satu ‘iming-iming’ yang disodorkan para bandar Jokowi kepada Ketum PDIP Megawati adalah, kalau PDIP mengusung Jokowi, maka partai Moncong Putih ini akan ketiban rejeki nomplok. Yaitu, dapat limpahan suara pendukung mantan Walikota Solo itu sebanyak 18%. Dengan begitu, lanjut mereka, PDIP akan mengantongi 34-35% suara dalam Pemilu 2014.
Janji dan iming-iming sudah disorongkan. Bagaimana dengan duit? Hanya para bandar, Mega, dan Tuhan yang tahu berapa besar uang maharnya, bagaimana cara pembayarannya, dan seterusnya. Yang pasti, kalau ada uang mahar (sekali lagi; kalau ada) tentu jumlahnya sangat besar, berbilang triliunan rupiah. Cara pembayarannya juga sudah pasti tidak transfer antar-rekening bank.
Namun apa yang terjadi, Jokowi Effect ternyata tak lebih daripada ilusi. Panen suara untuk PDIP di Pemilu hanya fatamorgana. PDIP cuma mengantongi suara sekitar 18%. Apa boleh buat, mimpi PDIP menjadi pemenang Pemilu harus kandas. Untungnya, kesialan tersebut terobati dengan terpilihnya si petugas partai menjadi Presiden.
Nah, kisah sukses dengan embel-embel efek inilah yang kini mulai disiapkan para bohir Ahok. Langkah pertama, ya itu tadi, memborong semua perusahaan surevi. Perusahaan yang bisa disebut berada di garda terdepan pada konteks ini adalah LSI Burhanudin Muhtadi. Rilis teranyar perusahaan ini menempatkan pasangan Anjrot (Ahok-Jarot) meraup 32,8% suara. Selanjutnya, masih akan ada survei-survei sejenis, yang sudah deal bayarannya, secara bergiliran akan bahu-membahu mencekoki benak publik, bahwa Anjrot pasti menang. Kabarnya, di kalangan mereka sudah ada kesepakatan, angka untuk Anjrot berkisar 32 dengan plus-minus 2-3%.
Menyewa perusahan survei memang butuh biaya besar. Tapi buat para taipan yang jadi bohir Ahok hal itu sama sekali tidak masalah. Cukong-cukong itu sangat berkepentingan Ahok jadi Gubernur lagi agar bisnis mereka aman. Beberapa contohnya adalah reklamasi teluk Jakarta dan beberapa proyek mercusuar di Ibukota.
Sudah cukupkah Anjrot diganjar pada kisaran 35%? Tidak. Karena mereka akan menambahkan angka lagi melalui pemilih yang belum menentukan keputusannya bakal memilih siapa, yang jumlahnya sekitar 18-20%. Jika 10% saja dari swing votes ini memilih gubernur yang hobi menggusur dengan ganas dan brutal, maka Anjrot bakal meraup suara 45%. Artinya, mereka menang satu putaran.
Langkah kedua, para bohir Ahok dan operator di lapangan akan memanfaatkan jumlah daftar pemilih tetap (DPT) ganda. Tidak tanggung-tanggung, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) DKI pada September silam menyatakan besarnya DPT mencapai 650.000 lebih. Ini artinya, sekitar 8,7% persen dari total DPT DKI Jakarta yang jumlahnya 7,5 juta. Kembali perusahaan survei bayaran tadi akan melemparkan ilusi, bahwa swing votes bakal menjatuhkan pilihannya kepada pasangan Anjrot. Dengan asumsi 4% saja yang parkir ke lumbung suara pasangan petahan ini, maka total suara yang bisa dijaring mencapai 49%. Artinya, Ahok menang telak satu putaran!
Dengan survei-survei bodong ini mereka bermaksud menggiring opini publik, bahwa warga Jakarta masih menginginkan Anjrot memimpin Ibukota. Pembentukan opini publik amat penting. Karena ini akan menentukan sukses tidaknya strategi memenangkan Pilkada berikutnya. Yaitu, curang!
Publik mungkin akan bertanya, bagaimana mungkin orang yang menjadi terdakwa penistaan agama bisa memenangi Pilkada yang pemilih mayoritasnya adalah orang yang agamanya dinistakan oleh si kandidat? Tapi, begitulah negeri ini. Hampir semua urusan bisa diselesaikan dengan fulus. Termasuk urusan pilkada dan, terutama, soal hukum.
Satu tarikan nafas
Pada konteks ini, rekayasa kemenangan Anjrot dan vonis bebas Ahok sebagai terdakwa penista agama menjadi satu tarikan nafas. Para taipan yang menjadi bohir sangat berkepentingan Ahok tetap menjadi gubernur pada periode berikutnya. Tirliunan rupiah sudah mereka keluarkan. Dan, triliunan rupiah lagi tidak segan-segan mereka bakal guyurkan
Dana superjumbo tersebut telah mereka sediakan untuk mengamankan Ahok kembali menduduki kursi gubernur. Ada alokasi untuk perusahaan-perusahaan survei, iklan di media massa, tim-tim pemenangan, dan lainnya. Juga ada dana untuk polisi, hakim, jaksa, pengacara, dan yang lainnya. Itu juga yang menjelaskan kenapa hingga kini Ahok tidak ditahan sebagaimana para pelaku penista agama lainnya. Padahal, sejak zaman Orba, Orla bahkan ketika Belanda masih berkuasa, para penista agama selalu langsung ditahan begitu kasusnya mencuat ke publik.
Jika skenario berjalan lancar, Pengadilan akan membebaskan Ahok dari segala tuntutan. Ditambah dengan kemenangan telak di Pilkada yang sudah diatur sedemikian rupa, kedudukannya sebagai gubernur baru periode 2017-2022 akan makin kokoh.
Ummat Islam bisa dipastikan akan protes. Para ulama, habaib, kyai, ustad, dan pimpinan nonformal ummat sangat mungkin akan kembali menggalang kekuatan. Bisa jadi Aksi Bela Islam jilid 4 bakal digelar lagi.
Tapi buat penguasa, apa urusannya dengan aksi berjilid-jilid. Mereka juga tidak peduli, walau jumlahnya mencapai 10 kali lipat dari aksi ketiga yang kabarnya mencapai sekitar 7,3 juta massa. Lha wong aksi damai, bahkan superdamai, kok.
Penguasa akan dengan gampang menuduh aksi-aksi tersebut merupakan pemaksaan kehendak. Penguasa akan mengingatkan mereka, bahwa Indonesia adalah negara hukum, bukan negara pemaksaan kehendak. Kalau masih bandel, apalagi sampai rusuh, penguasa akan bertindak tegas. Para pimpinan aksi akan ditangkapi. Kali ini penguasa akan lebih tegas dan keras. Mereka ditangkapi dengan menggunakan pasal-pasal karet.
Isyarat  bakal ada penangkapan-penangkapan tersebut sebetulnya sudah ada. Menjelang dan pasca aksi bela Islam 212, ada 12 orang yang diciduk. Ini adalah latihan sekaligus warning buat yang lain.
So, selanjutnya bagaimana? Tulisan ini memang sekadar ‘penerawangan’ kira-kira bakal seperti itu kejadiannya. Namanya juga penerawangan, bisa benar bisa juga salah. Namun berbekal dengan fakta dan informasi di bawah permukaan yang berhasil dipotret, kira-kira memang skenario itulah yang bakal dimainkan oleh Ahok, para bohir dan pasukan pelaksana lapangannya.
Tinggal, harus bagaimanakah kita? Di ranah ini memang uang sangat perkasa. Apalagi kalau jumlahnya luar biasa. Tapi, mereka lupa, bahwa duit bukan tidak bisa dilawan. Uang memang hanya bisa dilawan dengan uang yang lebih besar lagi, lebih besar lagi, begitu seterusnya.
Namun uang bisa dilawan dengan militansi. Dan, satu lagi, sebagai orang beriman, kita juga yakin, bahwa jika Allah sudah berkehendak, maka tidak ada satu pun makhluk yang bisa menghalangi. Karenanya, selain terus mengasah militansi, sudah semestinya kita selalu meningkatkan kualitas iman dan amal soleh. Sambil, tentu saja, tidak lupa tidak putus-putusnya berdoa, memohon agar Allah melindungi Indonesia agar tidak jatuh ke tangan aseng dana sing. Berdoa agar pemerintah Indonesia berdaulat dan rakyatnya sejahtera. Aamiin.
Oleh Edward Marthen, pekerja sosial, tinggal di Jakarta