KedaiPena.com – Kembali menggeliatnya perekonomian Indonesia ternyata membuat limbah busa di Sungai Cileungsi, Bojong Kulur, Gunung Putri kembali terlihat. Hal ini, tentunya menjadi pertanyaan, apakah pelaku usaha tak memiliki pengolahan limbah yang memiliki kualitas baik, sehingga kembali menimbulkan pencemaran di air sungai.
Ahli Toksikologi Departeman MSP, IPB University, Prof Etty Riani menyampaikan bahwa perusahaan memang diwajibkan untuk memiliki instalasi pengolah air limbah tapi biaya untuk melakukan pengolahan limbah membutuhkan biaya yang tidak kecil, sehingga masih ada perusahaan nakal yang membuang limbahnya langsung ke sungai tanpa pengolahan terlebih dahulu.
“Seharusnya, semakin kesini semakin baik. Tapi perlu diingat, kalau pengolahan limbah itu membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Apalagi kalau limbahnya adalah limbah surfaktan atau limbah detergent, yang belum umum. Yang sudah umum dilakukan pengolahan limbah domestik atau limbah organik mudah urai, seperti sisa makanan,” kata Prof Etty saat dihubungi, Jumat (12/8/2022).
Ia menyatakan pengolahan limbah detergent memang mahal dan jarang dipergunakan oleh pelaku usaha.
“Harganya itu bisa mencapai setengah biaya produksi. Sehingga pelaku industri enggan untuk melakukannya. Kalaupun dilakukan pengolahan, hanya menggunakan fasilitas pengolahan limbah organik biasa. Sehingga surfaktan relatif tidak dapat diolah dengan baik,” ujarnya.
Jika dimisalkan itu adalah limbah berbentuk buih atau yang lebih umum disebut masyarakat sebagai busa detergent, maka perlu diteliti terlebih dahulu terkait kandungannya.
“Bisa saja ada surfaktan. Atau kalau misalnya limbahnya itu berasal dari detergent, sebutlah industri laundry, maka limbah buih itu akan mengandung surfaktan, builder, bleaching dan additives,” ujarnya lagi.
Ia menyebutkan biasanya kandungannya adalah LAS (Linear alkyl sulfonat) dan ABS (Alkyl Benzene Sulfonat).
“Penggunaan ABS selama ini sudah dilarang. Tapi saya tidak yakin jika memang senyawa tersebut tidak dipergunakan lagi atau sudah hilang di Indonesia. Karena harga ABS ini lebih murah, sehingga lebih umum dipergunakan,” kata Prof. Etty.
Ia menjelaskan pelarangan penggunaan ABS ini adalah karena sifatnya yang sulit terurai, bersifat akumulatif dan bisa menyebabkan kanker.
“ABS ini tidak bisa dihilangkan hanya dengan pengolahan air yang biasa. Jadi kalau dijadikan bahan baku air minum, ada potensi akan terakumulasi di tubuh manusia. Sedikit emang, tapi lama-lama jadi bukit,” pungkasnya.
Laporan: Ranny Supusepa