KedaiPena.com – Kepala Laboratorium Psikologi Politik Universitas Indonesia Hamdi Muluk menyatakan berdasarkan penelitian ada hubungan antara social assistance dengan perilaku pemilih.
Ia menyampaikan hal ini saat didapuk menjadi saksi ahli yang diajukan oleh Tim Hukum Ganjar-Mahfud dalam Sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden 2024 di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (2/4/2024).
“Apakah betul instrumen itu mampu memengaruhi perilaku pemilih kalau kita letakkan dalam konteks suatu negara ada peristiwa pemilihan umum?,” kata Hamdi.
Ia memaparkan banyak studi yang memperlihatkan bansos merupakan instrumen yang lazim dalam sebuah negara. Terdapat banyak pertimbangan terkait hal tersebut, misalnya sebagai bagian dari jaring pengaman sosial (social safety net) hingga upaya menyejahterakan masyarakat.
“Tapi di lain pihak, secara politis ini problematik karena tentu yang punya otoritas untuk menyalurkan ini adalah petahana tentunya dan ini tidak dimungkinkan oleh kontestan lain yang tidak dalam posisi petahana,” ujarnya.
Ia juga memaparkan banyak studi yang memperlihatkan pengaruh bansos terhadap perilaku pemilih. Stokes et all menggunakan istilah Clientalism Politics yang berarti instrumen dukungan yang dipakai sedemikian rupa direkayasa untuk memengaruhi pemilih.
“Tentu timing penerima manfaat bisa diarahkan supaya menguntungkan pihak yang memberi itu dalam konteks ini biasanya yang sering distudi adalah petahana atau parpol atau calon yang satu kubu dengan petahana. Itu yang disebut Clientalism Politics,” ujarnya lagi.
Ia menyatakan, untuk konteks Pemilu 2024 di tanah air, Laboratorium Psikologi Politik UI melakukan meta analisis berupa pengumpulan seluruh literatur terkait topik ini di seluruh dunia. Hasilnya ditemukan 1.815 studi di seluruh dunia dengan keyword “social assistance” dan seterusnya.
“Secara umum, setelah kami lihat efek rata-rata dari seluruh studi yang kami kumpulkan, efeknya moderat, rata-rata 0,29. Artinya kalau kita berapa banyak variabel yang menentukan pilihan orang, 29 persen disumbang faktor social assistance,” kata Hamdi.
Dengan demikian, ada 71 persen orang memilih calon tertentu karena faktor-faktor lain ketokohan, sosiologis, analisis terhadap kemampuan, dan seterusnya. Inilah hasil studi di beberapa negara secara universal.
Sebagai contoh, studi kasus di Nigeria yang memperlihatkan suara partai petahana melonjak drastis lantaran 92 persen pemilih memilih partai itu karena menerima bantuan langsung tunai (BLT).
“Artinya, semakin banyak BLT, maka semakin puas pemilih terhadap petahana karena mereka dinilai positif hingga dianggap seperti santa claus,” ungkapnya.
Alasan politisasi bansos menjadi problematik dalam konteks demokrasi Indonesia, lanjutnya, karena bansos hanya bisa dikendalikan oleh orang yang memegang otoritas, dalam konteks ini petahana.
“Jadi kalau kita andaikan petahana maju, dalam konteks sekarang orang akan challenge, petahana kan tidak maju? Tapi ada setengah petahana istilah teman saya, jadi anaknya yang maju. Tinggal dibangun bagaimana perspektif publik dibentuk setengah petahana juga mewakili petahana. Di situ mekanisme psikologisnya berlangsung. Nah kalau ini berhasil tentu kepuasan terhadap petahana terkonversi kepada kepuasan terhadap setengah petahana yang sedang menjadi kontestasi hari ini. Itu mekanismenya,” ungkapnya lagi.
Ia menilai penggelontoran bansos ini problematik secara psikologis. Namun secara politik etis tidak fair karena yang bisa menggunakan adalah petahana.
“Bahwa yang bisa menggunakan, yang punya otoritas menetapkan kapan bansos ini harus digelontorkan, berapa banyak, mekanismenya seperti apa, waktunya kapan itu tentu yang memegang otoritas, dalam konteks ini petahana. Itu sebabnya di beberapa tempat, di luar negeri, memang hasilnya cukup konklusif. Ada kontribusi penggelontoran bansos terhadap keterpilihan terhadap petahana yang angkanya cukup moderat. tentu ini bervariasi dari satu tempat ke tempat lain,” kata Hamdi lebih lanjut.
Lebih lanjut, Hamdi mengatakan, dari segi pematangan demokrasi dan perilaku politik pemilih, ini menimbulkan ketergantungan. Apalagi politik klientalisme terselubung sehingga sulit dibuktikan secara pidana kecuali sudah berbentuk vote buying dan ada bukti materialnya bisa dibawa ke Bawaslu.
“Dalam konteks tidak ada itu, penggunaan bansos bisa memanipulasi pemilih. Ini yang banyak distudi. Kenapa penggunaan bansos menjadi problematik. Kesimpulan saya bahwa nyata ini memengaruhi pemilih,” pungkasnya.
Laporan: Ranny Supusepa